Blogger Layouts

Saturday, May 19, 2007

Bab 4(Kota Medan)

Bab 4
Kawasan Kajian: Kota Medan


4.0 Pendahuluan
Kota Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia berpenduduk 2.210.743 orang pada tahun 20062 memiliki luas wilayah 26.510 ha (265,10 km2), atau 3.,6 % dari luas keseluruhan Propinsi Sumatera Utara. Dibandingkan dengan kabupatan lain di Sumatera Utara, luas wilayah Medan ini sangat kecil tetapi memiliki penduduk yang paling besar, dan menurut banci yang dilakukan pada tahun 2000, penduduk siang hari kota Medan mencapai 2,210,743 yang hampir meliputi sepertiga dari penduduk propinsi Sumatera Utara dari jumlah tersebut 306,470 bukan penduduk yang tetap sehingga secara rasmi yang tercatat sebagai permanen residen adalah sebesar 1,904,273. Kepadatan penduduk adalah sekitar 8,339 orang per-kilometer persegi sehingga diklasifikasikan sebagai kota yang padat penduduk[1].
Kota ini dilintasi berbagai sungai yang berpotensi sebagai saluran pembuangan air hujan untuk mengatasi banjir dan air limbah. Sedikitnya terdapat 10 (sepuluh) sungai yang melintasinya, antara lain 1. Sungai Belawan, 2. Sungai Deli, 3 Sungai Badra, 4. Sungai Putih, 5. Sungai Babura, 6. Sungai Sikambing, 7. Sulang Saling, 8. Sungai Kera, 9. Sungai Batuan dan 10. Sungai Percut. Sebhagian diantaranya sudah megalami kekeringan pada musim kemarau. Iklim yang ada sangat dipengaruhi udara laut dan pegunungan dengan suhu purata 270C.
Letak Kota Medan sangat strategik dengan letaknya yang bersebelahan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau, serta selat Malaka, mendorong Kota Medan menjadi pusat pengembangan di Sumatera bagian Utara. Kota ini juga didukung dan bersempadan langsung dengan daerah Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang serta berada tidak jauh dari Pemerintahan Binjai (± 22 km). Secara relatif Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan ‘natural resources’ (sumber Daya Alam-SDA), khususnya di bidang perladangan, perhutanan dan pertanian.
Keadaan di atas menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Di samping itu sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang kegiatan perdagangan barang dan perkhidmatan baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Kedudukan geografi Kota Medan yang telah berkembang ke arah selatan mendekati kawasan perladangann serta keperluan pengangkutan laut dan sungai secara tradisional telah menjana perkembangan kota dalam 2 (dua) daerah iaitu Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
4.0.1 Terminologi dan Pengertian
Untuk memudahkan pembahasan selanjutnya, maka bahagian ini akan diawali dengan penjelasan mengenai beberapa terminologi yang sering digunakan dalam kajian ini. Housing Need, dirumuskan sebagai jumlah atau kuantiti rumah yang cukup bagi penduduk tanpa harus mempertimbangkan kemampuan mereka untuk membayar (Golland & Gillen, 2004; Yusoff, 1993;)[2].
Housing Demand, merujuk pada pernyataan Nicol (2002) mengusulkan agar strategi perencanaan ditujukan bagi memenuhi tuntutan ‘housing need’ dan ‘housing demand’. Housing demand diasosiasikan dengan keperluan sebuah sebuah keluarga secara individual atas sebuah rumah yang memiliki kondisi di atas level minimum dari tuntutan keperluannya (Golland & Gillen (2004)[3], yang didukung oleh keinginan keluarga yang bersangkutan untuk membayarnya (Yussof, 1993)[4]. Actual and Effective Demand, secara teknik dirumuskan sebagai permintaan terhadap rumah yang dikaitkan dengan kemampuan membayar setiap keluarga (Golland & Gillen, 2004)[5].
Housing Choice, penentuan housing demand diasosiasikan dengan pilihan atau preference penduduk yang sangat berkaitan dengan kepuasan (resident satisfaction). Tuntutan berupa pilihan ini dapat dibezakan atas jenis pemilikan rumah (hak milik, sewa dll), jenis dan bentuk rumah, serta metode membangun rumah baru (Golland & Gillen, 2004)[6].

4.0.2. Keterjangkauan (Affordability)

Affordability menyangkut konsep dari keterjangkauan terhadap rumah (housing affordability) merujuk pada kemampuan kewangan sebuah keluarga membayar sebuah rumah. Hulchanski (1995) mengamati bahawa konsep housing affordability merupakan jumlah pendapatan keluarga (kombinasi pendapatan dari anggota keluarga yang bekerja[7]) yang diperlukan membayar sebuah rumah dan pengeluaran rumah tangga lainnya (Hancock, 1993)[8]. Affordability berkenaan dengan pemilikan atau penyewaan rumah dengan standard tertentu berdasarkan harga beli atau harga sewa, yang tidak memberatkan bagi pendapatan keluarga menurut kaca mata pihak ketiga (dalam hal ini pemerintah) (Maclennan and Williams, 1990)[9]. Bramley (1990) merumuskan housing affordability sebagai kemampuan sebuah keluarga menempati sebuah unit rumah yang pantas, ditinjau dari sudut norma sosial dan fizikal seperti jenis serta besarnya, sesuai dengan kemampuan membayar yang tidak mengganggu penghidupan keluarga tersebut sehingga tidak membuat mereka berada di bawah garis kemiskinan[10]. Dapat disimpulkan bahwa memiliki housing affordability berarti mampu membayar ansuran untuk keperluan rumah tetapi masih memiliki baki wang untuk membeli yang lain (Whitehead, 1991)[11].

4.0.2.1.Metode Mengukur Affordabilitas

Terdapat tiga metode yang paling umum mengukur housing affordability iaitu; Price to Income Ratio (PIR), Housing Expenditure to Income Ratio dan Residual Income. Disamping metode tersebut terdapat premise yang sering digunakan bahawa hanya 20% sampai 30% dari pendapatan yang dapat disisihkan untuk membayar rumah, jika sebuah keluarga mengeluarkan pendapatan lebih dari jumlah ini bererti keluarga tersebut tidak memiliki affordabilitas. Cara pengukuran ini tidak sesuai untuk penduduk miskin, kerana mereka tidak akan memiliki baki pendapatan untuk membayar rumah sekecil apapun harga yang harus dikeluarkan sedang penduduk kaya memiliki baki pendapatan yang lebih dari cukup untuk terus menerus memiliki sebuah baru yang persentasinya seringkali lebih dari 30 %. Kesukaran menentukan housing affordability timbul karena housing affordability juga menyangkut pengeluaran dan air yang sering dimasukkan pada pengeluaran konsumsi non-rumah, sedang definisinya secara spesifik adalah ‘perbandingan pendapatan dengan harga atau sewa rumah’. Kesulitan kedua adalah kemampuan pengagihan 30 % dari pendapatan, apakah jumlah tersebut kerana terpaksa disebabkan desakan keperluan atau kerana keinginan sendiri dengan suka rela disebabkan asas kepantasan (Nelson et al, 2002:3)[12]. Beberapa negara seperti United States, United Kingdom dan Hong Kong, menggunakan ‘median rent-to-income ratio’ sebagai alat mengukur housing affordability (Hui, 2001:34)[13]. Namun, cara ini telah dikritik karena penentuan penanda aras terlalu sembarangan. World Bank mengusulkan beberapa indikator untuk menghitung housing affordability: (1). Rasional harga rumah dan pendapatan: iaitu rasio median harga sebuah unit rumah di pasar bebas dan median pendapatan tahunan keluarga. (2). Rasio sewa rumah dan pendapatan: iaitu rasio median sewa tahunan sebuah unit rumah di pasar bebas dan median pendapatan tahunan keluarga penyewa. (3). Appresiasi harga rumah: Tingkat perubahan harga rumah tahunan yang dihitung sebagai persentasi rata-rata kenaikan kenaikan harga rumah selama periode lima tahun. (4).Penetrasi Pasar: Rasio harga pasar rumah terendah yang dibangun oleh swasta dan tidak disubsidi serta jumlahnya tidak kurang dari 2% dari seluruh produksi rumah tahunan, untuk dibandingkan dengan median pendapatan keluarga[14]. Sedang indikator yang digunakan Canada untuk menghitung housing affordability adalah: (1). Persentasi dari penyewa yang mengeluarkan pendapatan melebihi 30% dari pendapatan saat ini. (2). Persentase dari pemilik-penghuni yang pengeluarannya atas rumah lebih dari 30% pendapatan. (3). Rata-rata biaya pelayanan (servis) dan harga bidang tanah rumah[15]. Variabel harga rumah adalah penyebab masalah housing affordability yang utama (Peattie, 1987; Linneman and Megbolugbe, 1992; Hancock, 1993; Lau and Li, 2006)[16]. Di US, housing affordability umumnya dipengaruhi variabel; harga rumah, pendapatan keluarga, tingkat suku bunga, instrumen ansuran, penjamin pinjaman, cukai tanah dan bangunan, ansuran, pengeluaran keluarga dan hutang, kaedah besarnya sewa dan subsidi rumah oleh pemerintah (Whitehead, 1991). Cara menentukan affordabilitas dengan variabel lain adalah; jenis pemilikan, tingkat pendidikan, jumlah anak dan tanggungan, jumlah keluarga yang bekerja dan jumlah cicilan bulanan untuk properti[17], terutama rumah.

4.0.2.2.Beberapa Attribute yang menentukan Affordability

Dengan demikian dapat digolongkan beberapa attribut yang menentukan housing affordability: Attribut Rumah Tangga (Household), Konsumsi yang berkaitan dengan rumah (Housing consumption), yang berhubungan dengan lokasi (Location related) dan attribut yang berhubungan dengan kualiti rumah (Housing quality related). (1).Household Attributes: Pengukuran Housing affordability yang menggunakan ‘residual income’ (Grigsby and Rosenburg:1975)[18] dan skala ‘shelter-poverty’ (Stone:1993) merumuskan affordabilitas sebagai berikut: Rumah dikatakan affordable bila pendapatan dikurangi pengeluaran keluarga untuk keperluan rumah tersebut, hasilnya tidak lebih kecil dari pengeluaran keluarga untuk kehidupan sehari-hari atau non-housing expenditures (Thalmann, 2003)[19]. Prinsip yang serupa digunakan juga untuk pendekatan ‘rent to income ratio’ (RIR). Menurut Kutty (2002)[20], pengeluaran sehari-hari (non-housing expenditures) seperti makanan, pendidikan, kesihatan, latihan, pengasuhan anak merupakan investasi bagi keluarga. Ini adalah faktor penting apakah mereka masih sanggup membayar non housing expenditure tersebut sesudah membayar rumah. Selain dari pendapatan keluarga dan konsumsi rumah tangga yang telah menempatkan sebuah keluarga pada posisi ekonomi tertentu, jumlah anggota keluarga juga memiliki peranan penting sebagai attribut affordabilitas, namun metode ‘residual income’ tidak banyak membahas jumlah bilangan sesebuah keluarga (Thalmann, 2003)[21]. (2). Housing Consumption Attributes: termasuk sewa rumah, pengeluaran yang berkenaan dengan rumah (housing consumption), ukuran unit rumah, sampai konsumsi dan biaya yang dikeluarkan untuk perkhidmatan serta jumlah tempat tidur. Indikator yang konvensional yang digunakan untuk mengukur affordability terhadap rumah sewa adalah RIR. Dalam pendekatan ini, hanya sewa dan pendapatan yang menjadi attribut dalam mengukur affordability. Housing affordability juga dapat diukur dengan ‘median rent to income ratio’ (MRIR). Namun, yang paling banyak digunakan masih RIR kerana mudah dihitung dan difahami (Thalmann, 2003). Housing expenditure adalah jumlah anggaran rumah tangga yang digunakan untuk membayar perkhidmatan perumahan dimana di dalamnya termasuk sewa dan pengeluaran lain yang berkenaan dengan rumah. Menurut Hancock (1993)[22], total housing expenditure pada sektor rumah sewa tidak hanya menyangkut harga sewa kerana cukai dan yuran serta perbaikan dan perawatan juga harus diperhitungkan. (3). Location Related Attributes: Yang menyangkut dengan attribut lokasi termasuk lokasi rumah, kemudahan persekitaran, kemudahan pusat perniagan seperti pasar yang dekat, jarak antara rumah dan tempat bekerja, serta kemudahan mencapai transportasi umum. Hui’s (1999) secara implisit dalam membuat model struktur sewa, memasukkan item di atas sebagai attribut [23]. (4). Housing Quality Related Attributes: Merupakan attribut yang diperlukan untuk melengkapi lingkungan yang memuaskan dan rumah yang dapat dijangkau oleh penduduk kota yang terus dalam hal ini termasuk penyelengaraan rumah dan lingkungan serta kesihatan dan hygiene[24].

4.1 Polisi Perancangan Kota Medan
Perancangan perbandaran moden telah dilaksanakan oleh Belanda buat kali pertama pada tahun 1930 di Polonia; yang kedua dilaksanakan oleh pemerintah daerah pada tahun 1974. Perbezaan masa perancangan kota yang dibuat pada tahun 1974 adalah 20 - 30 tahun dan telah dimodifikasi pada tahun 1991. Tujuan utama dari perancangan kota ini adalah untuk memperbaiki kualiti hidup penduduk bandar melalui usaha menyediakan peluang pekerjaan, kemudahan infrastruktur dan utiliti perbandaran yang lebih baik. Disamping itu, bandar Medan diharapkan berfungsi sebagai pusat perkembangan wilayah Sumatera Utara dan di bahagian barat Indonesia. Dengan kata lain, akan dijadikan sebagai salah satu wilayah pertumbuhan ekonomi.
Jadual 4.1: Rancangan Penggunaan Tanah Kota Medan Tahun 2005
No.
Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
%
1.
Perumahan
14.311,36
53,98
2.
Kemudahan Lingkungan/Persekitaran
2.247,48
8,48
3.
Ruang Terbuka Hijau/Konservasi
2.651,00
10,00
4.
Tanah Perkuburan
59,16
0,22
5.
Kawasan Industri
1.715,00
6,47
6.
Jalan dan Akses
3.353,81
12,65
7.
Lain-lain (CBD, Pelabuhan, Gudang)
2.172,19
8,19

Jumlah
26.510,00
100,00
Sumber : RUTRK Medan 2005

4.1.1 Konsep Perancangan
Konsep perancangan kota Medan yang dirangka pada tahun 1974 pada prinsipnya merujuk kepada “Central place theory” yang dikemukakan oleh Christaller pada tahun 1933 (Carter and Arnold: 1981)[25] berdasarkan asumsi bahawa bandar akan berfungsi sebagai pusat (Central place) perkhidmatan dan kehidupan bagi daerah pinggiran di sekitarnya (The Countryside), yang terbentuk kerana pencapaiannya yang mudah dari segala sisi kerena terletak di tengah. Christaller mengatakan bahawa asumsi ini diperolehi dan dikembangkan berdasarkan pendapat Gradman (1916)[26], yang menyatakan peranan yang menonjol dari sebuah bandar adalah menjadi pusat dari daerah pedesaan di sekitarnya, menjadi mediator perdagangan tempatan dengan dunia luar, mengumpulkan dan mengeksport hasil-hasil daerah tempatan, mengimport dan mendistribusikan barang dan perkhidmatan yang diperlukan oleh penduduk pedesaan di sekitarnya. Peranan dan sentraliti yang dimiliki oleh sebuah bandar tidak ditentukan oleh jumlah penduduknya. Maksud dengan sentraliti dalam hal ini adalah tingkat perkhidmatan yang diberikan kepada daerah persekitarannya yang diukur dengan jumlah barang dan perkhidmatan yang dapat ditawarkan. Terdapat variasi kualiti dan kuantiti serta perbezaan tingkat dari barang dan perkhidmatan yang ditawarkan, beberapa di antaranya mahal dan pembeliannya jarang dan memerlukan jumlah populasi yang besar untuk menjamin jumlah pembeliannya; jenis yang lain diperlukan sehari-hari dan hanya menuntut jumlah populasi yang kecil untuk mempertahankan keberadaannya. Berdasarkan karakter barang tersebut, timbul dua konsep iaitu pertama; jumlah ambang penduduk minimal yang diperlukan untuk mendukung penjualan barang atau pelayanan tertentu sehingga penawarannya bertahan. Dalam istilah ekonomi permintaan minimum agar penawaran barang tersebut dapat dipertahankan. Jika penduduk pendukungnya kurang dari batas minimum tersebut maka barang tersebut tidak dapat lagi disediakan. Kedua; beza jangkauan atas sesuatu barang dan perkhidmatan, iaitu jarak maksimum yang akan ditempuh oleh penduduk untuk dapat membelinya di tempat yang memiliki sentraliti. Jika lebih jauh dari jarak tersebut, maka kenikmatan berperjalanan dari segi waktu, perbelanjaan dan kesulitan yang timbul akan melebihi nilai dan tingkat keperluan dari barang yang akan dibeli, dengan kata lain tidak akan terjadi pembelian.
Rujukan lain dari perancangan kota Medan 1974 adalah konsep Garden City dari Howard yang memusatkan perhatian pada pembahagian (Deconcentration) kota Medan menjadi enam satelit yang berdekatan. Konsep tersebut diperjelas lagi kemudian pada perancangan Medan yang lebih luas yang mencakupi Medan, Binjai dan Deli Serdang pada tahun 1993 yang disebut sebagai kawasan MEBIDANG (Medan, Binjai dan Deliserdang). Menurut Howard keuntungan dari kota dan kehidupan di dalamnya dapat ditingkatkan secara maksimal dan kerugian yang ditimbulkannya dapat dibuat minimal jika pembangunannya didasarkan pada koperasi serta besarnya kota tersebut dibatasi hanya sampai 32,000 penduduk. Penduduk ini akan menggantungkan dirinya pada makanan dan sumber alam dari tanah pertanian yang ada disekelilingnya. Mereka akan membuat sendiri perkhidmatan dan industri yang integral dengan jalur transportasi yang secara rasional telah direncanakan sebelumnya. Jika diperlukan perluasan, tidak diizinkan mengembangkan lagi bandar yang sudah ada atau memperluas pinggirannya tetapi membuat kota satelit baru yang hampir sama besarnya pada jarak yang optimal untuk tidak saling mengganggu. Secara prinsipnya perancangan bandar tersebut selalu menyimpang dan dikhianati (flouted and deceptive). The garden cities akhirnya diterjemahkan sebagai kota pinggiran yang dilengkapi dengan taman, dengan kepadatan penduduk yang rendah, dirancangkan dengan baik, dan pada umumnya ditempati golongan penduduk kelas menengah dan sangat bergantung pada kota induk yang sudah ada sebelumnya sehingga akhirnya telah menciptakan kota yang sudah ada sampai terlalu luas sehingga melewati batas toleransi.
4.1.2 Dekonsentrasi dalam Konteks Anti-kota
Dalam usaha mengatasi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi di kawasan pusat kota yang telah menyebabkan berbagai macam masalah maka perancangan kota 1974 memberikan rekomendasi agar Medan dibahagi menjadi sub-region tiga yang terdiri dari Belawan, koridor Medan-Belawan, dan Medan. Ketiga region ini selanjutnya dibagi lagi menjadi mejadi tujuh sub-sub region dimana salah satu diantaranya menjadi pusat kota. Setiap sub-sub region akan mengakomodasi penduduk sebesar 60,000 to 120,000 populasi yang kemudian dipecah lagi menjadi neighborhood yang dihuni oleh 5,000 hingga 10,000 orang. Kawasan Belawan dan koridor Belawan-Medan akan dijana pertumbuhannya agar tekanan pada pusat kota dapat dikurangkan. Daerah industri dikonsentrasikan di dua daerah iaitu industri menengah dan kecil di daerah Maryland dan industri berat di daerah Titipapan dan Timbang Deli. Kecuali Zoning, perancangan kota Medan 1974 tidak memperinci lebih lanjut floor area ratio, building set back, building coverage, ruang terbuka dan kedudukan pola- pola jalan sekunder namun seluruhnya, dapat dibincangkan dan diubah antara pemerintahan legislatif dan para pengusaha pemilik modal tanpa memperhitungkan permasalahan rakyat. Hampir dapat dikatakan perancangan hanya alat untuk membuat perundingan/ negoisasi agar dapat diubah kembali.



Sumber:Dinas Tata Kota Medan 2005[27]

Gambar 4.1. Peta RUTRK Medan Tahun 2005

4.1.3 Pola Jalan dan Transportasi
Sejalan dengan rekomendasi ‘deconsentration’ dan dalam usaha membuat sistem transportasi di dalam kota maka dikembangkan sistem jalan melingkar sebanyak tiga lapis. Masing-masing tersebut ialah jalan lingkar dalam, tengah dan luar. Jalan lingkar ini kemudian dihubungkan oleh beberapa jalan radial yang bergerak dari pinggiran sampai ke pusat kota. Melalui pola jalan seperti itu, paling tidak terdapat tiga keuntungan yang diharapkan. Pertama; perkembangan kota dan perumahan akan berkembang sekata tidak hanya di satu daerah dan yang kedua, lalu lintas yang langsung dari pinggiran ke pinggiran yang lain tidak lagi harus melalui kota dan yang ketiga; kemudahan untuk ke segala arah akan lebih mudah.
4.1.3. Kebijaksanaan Pengembangan Metropolitan Mebidang
Saat ini Medan telah dimasukkan kepada perancangan kota Metropolitan Mebidang (Medan, Binjai dan Deliserdang). Namun sesudah perancangan ini tidak pernah berjalan seperti yang diharapkan kerana kawasannya meliputi beberapa bahagian daerah lain yang strateginya tidak selalu selari. Wujud keseluruhan pola pembangunan perkotaan Mebidang disusun dalam suatu susunan perkotaan yang terdiri dari sembilan kota mandiri, yang berperan sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang sengaja dirancang untuk saling melengkapi. Berdasarkan daerah strategis yang ada maka kesembilan kota tersebut adalah Medan, Labuhan, Tembung, Simpang Sunggal, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Batang Kuis/ Serdang, dan Binjai. Setiap kota akan tumbuh dan didorong menjadi permukiman yang secara ekonomi dan sosial tidak bergantung kepada Medan Kota Inti.



Sumber:Dinas Tata Kota Medan,2003

Gambar 4.2. Konsep Mebidang (Medan, Bijai dan Deliserdang) dalam Peta


4.2 Pembangunan Fizikal Bandar pada Kenyataannya
Perancangan kota tahun 1974 telah dilaksanakan lebih kurang 25 tahun dan telah diperbaharui pada tahun 1995, namun rekomendasi yang diusulkan dalam perancangan tersebut belum satupun yang dapat dilaksanakan sepenuhnya. Seterusnya, bandar ini terus berkembang secara semula jadi/alamiah tanpa dikendalikan dengan sempurna oleh pihak berkuasa. Kemungkinan penyebabnya adalah sebagai berikut; pertama, perancangan tersebut didasarkan kepada prinsip perancangan Barat yang memerlukan beberapa suasana dan persekitaran yang baik untuk mendukung keberhasilannya. Hal ini dapat di lihat sebagai mana adanya kontrol yang ketara dari masyarakat dan adanya tingkat partisipasi tertentu yang sulit diperoleh di negara-negara Asia sehingga penyimpangan mudah dilakukan oleh para elit politik. Kedua; kemampuan pemerintah daerah untuk mencari dana bagi pelaksanaan program. Dengan kata lain, pilihan dan dana pembangunan lebih banyak ditentukan oleh pemerintahan di atasnya. Ketiga; pembangunan pada tahun 1974 tidak mempertimbangkan preferensi dari penduduk sehingga tiada dukungan dari penduduk tempatan. Di samping itu, lemahnya undang-undang dan kurang jelasnya petunjuk mendalam “urban guidline” pembangunan kota. Sehingga, pembangunan makin terkonstentrasi di tengah kota yang kemudian dipenuhi oleh bangunan bertingkat, Seterusnya, bahagian tengah kota semakin tidak terjaga kerana timbulnya perumahan kotor/kumuh untuk menampung golongan bawah agar mereka mudah mencapai konsentrasi pembangunan di tengah kota.

4.3 Bandar Medan Menurut Pandangan Pemerintah
Tempatan

Pemerintah Medan telah menetapkan visi pembangunan kota Medan iaitu mewujudkan kota Medan sebagai kota Metropolitan yang bercirikan masyarakat madani yang menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi dan mempunyai tahap keimanan yang mendalam. Dengan misi sebagai berikut; pertama, meningkatkan tenaga kerja Perkhidmatan Umum Pemerintah Kota, yang diharapkan untuk mewujudkan Medan sebagai kota Metropolitan. Kedua; Meningkatkan kualiti sumber daya (human resources) Pemerintah Kota dan Masyarakat, yang diharapkan dapat membentuk pemimpin yang bersih dan berwibawa, bermoral serta mewujudkan masyarakat madani. Ketiga; meningkatkan kemudahan dan sarana kota yang diharapkan dapat memenuhi keperluan perkhidmatan infrastruktur perkotaan yang berwawasan lingkungan. Keempat; meningkatkan kemampuan pengelolaan kewangan daerah guna mewujudkan kemajuan dan berdikari sebagai daerah otonomi. Kelima; mewujudkan rasa aman dan nyaman serta kesejahteraan warga kota, melalui peningkatan peranan serta masyarakat dan penguasaan ilmu dan teknologi, guna mewujudkan Medan sebagai kota Budaya yang berwawasan lingkungan. Terakhir; mengembangkan iklim berusaha yang sihat dan kompetitif, guna mewujukan kota Medan sebagai pusat kegiatan ekonomi regional dan internasional[28].
Menurut pemerintah tempatan, permasalahan kota Medan adalah sebagai berikut; pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan sosial, tata ruang, perluasan kota, lingkungan hidup, pengurusan lalu lintas, dan pertamanan. Berdasarkan huraian di atas, jelas menunjukkan bahawa pemerintah kota Medan tidak menjadikan isu perumahan menjadi masalah utama yang perlu diselesaikan.

4.4 Perumahan di Medan
4.4.1 Keadaan Penduduk di Medan
Seperti sudah dijelaskan di atas, Kota Medan 2.210.743 orang pada tahun 2006 penduduk siang hari kota Medan mencapai 2,210,743 dari jumlah tersebut 306,470 bukan penduduk yang tetap sehingga secara rasmi yang tercatat sebagai permanen residen adalah sebesar 1,904,273. Kepadatan penduduk adalah sekitar 8,339 orang per-kilometer persegi, sehingga diklasifikasikan sebagai kota yang padat penduduk. Untuk memberikan gambaran di bawah ini diperlihatkan pola pertumbuhan penduduk sampai pada tahun 2003.

Jadual 4.2: Pertumbuhan Penduduk dan Keluarga tahun 1990-1997
No
Daerah
Area
(ha)
%
Penduduk
Keluarga
Density
1980
1992
1997
1990
1997
1990
1997
1
Kota
527
1.99
92,359
93,043
99,122
19,968
16,929
172
188
2
Timur
776
2.93
99,797
109,433
115,428
20,993
20,993
144
149
3
Perjuangan
409
1.54
100,561
104,458
112,531
20,097
20,097
237
275
4
Barat
682
2.57
74,274
87,489
97,405
16,302
16,302
123
142
5
Baru
584
2.20
58,418
49,490
55,937
9,760
9,760
100
96
6
Denai
405
3.41
63,736
106,946
119,315
19,194
19,194
121
132
7
Deli
2,084
7.86
72,491
100,109
117,327
18,809
18,809
57
56
8
Labuhan
3,667
13.8
38,815
55,624
74,470
10,258
10,258
12
20
9
Marelan
2,382
8.99
40,067
58,928
75,666
11,357
11,357
16
32
10
Belawan
2,625
9.90
81,165
83,666
89,694
15,033
14,033
84
34
11
Johor
1,458
5.50
36,096
71,296
87,265
13,321
13,321
48
60
12
Sunggal
1,544
5.83
64,620
91,675
99,844
16,953
16,953
47
65
13
Tuntungan
2,068
7.80
11,743
48,539
62,007
10,095
10,095
33
30
14
Area
552
2.08
118,400
116,779
124,981
21,298
21,298
299
226
15
Amplas
1,119
4.22
64,294
86,634
108,307
15,700
15,700
63
97
16
Petisah
533
2.01
80,692
79,575
90,009
15,141
15,141
177
169
17
Polonia
901
3.40
42,977
53,605
57,848
10,162
10,162
65
64
18
Maimun
298
1.13
46,538
49,148
56,025
9,426
9,426
123
188
19
Tembung
799
3.01
92,115
117,902
131,539
21,918
21,918
173
165
20
Helvetia
1,316
4.97
75,766
110,903
123,732
20,773
20,773
96
94
21
Selayang
1,281
4.97
24,718
54,801
75,849
10,517
10,517
27
59

Total
26,510
100
1,381,622
1,732,035
1,976,298
329,065
325,033
65
75
Sumber: Kecamatan dalam Angka 1997, Rencana detail Tataruang Kotamadya Medan, dan Monografi Kecamatan 1997 dalam Loebis, M.N (1998). Peremajaan Kawasan Kumuh di Kotamadya Medan Unpublished.

Jadual 4.3: Tingkat Pertumbuhan Penduduk Tahun 1998 – 2003
Tahun
Penduduk
Pertumbuhan
Tingakat (%)
1997
1,974,300
-
-
1998
1,901,067
2,039
0.11%
1999
1,902,500
1,433
0.08%
2000
1,904,273
1,773
0.09%
2001
1,926,520
22,247
1.17%
2002
1,963,855
37,335
1.94%
2003
1,982,708*
18,853
0.96%
Sumber: Medan Statistical Year Book 1998-2002 (BPS-Medan) * Projected


Jadual 4.4: Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Kotamadya Medan
Tahun 1983 – 1988
Tahun
Harga Berlaku
(Juta Rupiah)
Harga Konstan/Stabil
(Juta Rupiah)
1983
871,266.77
871,266.71
1984
1,041,907.48
907,700.99
1985
1,111,354.40
924,743.36
1986
1,236,438.23
974,594.26
1987
1,533,171.24
1,062,768.01
1988
1,182,797.40
1,135,331.16







Sumber: Medan Statistical Year Book 1998-2002 (BPS-Medan) * Projected


Penghasilan penghuni rendah di bawah atau mendekati garis kemiskinan. Untuk Indonesia garis kemiskinan yang ditentukan Prof. Sayogyo yang sering dipakai yaitu 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan. Atau didasarkan pada pengeluaran minimum perkapita, Rp. 20.614/bulan untuk dikota atau Rp. 13.259/kapita di desa[29] pada tahun 1991. Garis kemiskinan di Indonersia didasarkan pada perhitungan perbelanjaann untuk konsumsi 2.100 kalori perhari perkapita ditambah dengan kebutuhan dasar lainnya yang minimun (minimum basic need). Garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp 96.959,- untuk perkotaan dan Rp 72.780 untuk pedesaan,- perkapita/bulan tahun 1998, angka ini turun menjadi Rp 92.409,- untuk perkotaan dan untuk pedesaan naik menjadi Rp 74.272.- perkapita/bulan tahun 1999 (Biro Pusat Statistik 2001). Pada tahun 2004, menurut Biro Pusat statistik Sumatera Utara, batas garis kemiskinan untuk kota Medan adalah Rp 137.000,- perkapita perbulan. Upah Minimum Pekerja (UMP) di Propinsi Sumatera Utara adalah Rp 537.000/bulan[30]. Sebagai contoh, jaduall di bawah ini disajikan pendapatan penduduk di kawasan kumuh.

Jadual 4.5: Pendapatan Keluarga di Kawasan Kumuh Kampung Baru
Tahun 2004

No
Pendapatan (Rp)
Jumlah
Persentase (%)
1
≤100.000
-
-
2
100.001-300.000
2
4,88
3
300.001-500.000
6
14,63
4
500.001-700.000
13
31,71
5
≥700.001
20
48,78

Total
41
100,00
Sumber: Wan Zulkarnain 2004.

Bilangan kjeluarga di petempatan ini berkisar antara 7- 8 orang, jika angka kemiskinan perkapita adalah sebesar Rp 137.000/bulan pada tahun 2004, maka pendapatan keluarga yang berada pada ambang batas kemiskinan adalah antara Rp 959.000.- Rp 1.096.000,- dan ini masih jauh dari pendapatan penduduk di petempatan kumuh ini. Kondisi ini jauh lebih buruk dari jumlah penduduk miskin kota pada tahun 1990 an seperti terlihat di bawah ini.

Jadual 4.6: Pendapatan Keluarga/Bulan di Kota Medan Tahun 1990
NO
Pendapatan Rumah Tangga /Bulan/(Rp)
Persentase
(%)
Jumlah Keluarga (KK)
Kumulasi
(%)

Rendah (Low Income)



1.
Kurang 50.000
1
3,240.89
1
2.
50 - 100.000
11
35,649.24
12

Menengah Bawah (Lower-Medium)



3.
101 - 150.000
9
29,167.56
21
4.
151 - 200.000
18
87,502.68
39

Menengah Atas (Upper-Medium)



5.
201 - 250.000
22
71,298.48
61
6.
251 - 300.000
10
32,408.40
71

Atas (Upper high Income)



7.
301 - 350.000
8
25,926.72
79
8.
351 - 400.000
6
19,445.04
85
9.
401 - 450.000
8
25,926.72
93
10.
451 - 500.000
2
6,481.68
95
11.
500.000 Lebih
5
16,204.20
100

Jumlah
100
353,251.61

Sumber : Loebis, M,N. Laporan Penelitian Permasalahan Perumahan di Kotamadya Medan 1992


Jadual 4.7: Pengeluaran Penduduk Penghasilan Rendah di Sumatera Utara
No
Konsumsi
Jumlah/Kapita/Bulan (Rp)
Persentase (%)
1
Makanan
16,231
58,05
2
Perumahan
59,834
23,42
3
Aneka barang/Jasa
14,421
5,57
4
Pendidikan
9,646
3,78
5
Kesehatan
4,904
1,92
6
Pakaian
10,056
3,94
7
Barang Tahan Lama
4,140
1,62
8
Pajak/Asuransi
2,063
0,81
9
Perhelatan
2,295
0,90

Jumlah
255,497
100,00
Sumber:Biro Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara 2004 dalam Panjaitan 2006

Jadual 4.8: Pengeluaran Penduduk di PERUMNAS Martubung
No
Pengeluaran
Pengeluaran (%)/Responden (%)
Rata-rata Pengeluaran (%)
< 10
11-20
21-30
31-40
41-50
1
Makanan
8
38
46
6
2
20,60
3
Pendidikan
55
40
4
1
0
10,10
4
Pakaian
92
8
0
0
0
5,80
5
Perumahan
10
13
52
15
10
25,20
6
Transportasi
58
31
6
4
1
10,90
7
Services
82
18
0
0
0
6,80
8
Consumer Goods
62
22
6
1
0
8,25
9
Tabungan
93
4
2
2
0
6,10
10
Lain-lain
92
5
2
1
0
6,20
Sumber: Diolah dari Panjaitan 2006[31]

Dari penjelasan tersebut terlihat bahawa penduduk yang tinggal dipetempatan yang disponsori pemerintah ini sesungguhnya bukan penduduk miskin. Meskipun penghasilan mereka tergolong rendah, kerana pengeluaran mereka sebesar Rp 255.497 sudah lebih besar dari pendapatan penduduk pada garis kemiskinan. Pendapatan Household di Perumahan Simalingkar menurut Suhadianto (2006) berkisar diantara Rp 500.000-1.000.000 (23 %), diantara Rp 1.000.001-1.500.000 (62 %) dan diatas Rp 1.500.000 (15%), dengan besaran keluarga rata-rata 4 maka dapat disimpulkan bahwa penduduk yang tinggal disipun bukan penduduk miskin.

4.4.2. Strategi Perumahan di Medan

Program Regional Agency for Urban Planning dan Settlement Regional (Dinas Tataruang dan Pemukiman-TARUKIM) yang seharusnya menangani program perumahan, tidak memiliki program yang signifikan dalam pengadaan rumah murah. Program yang dijalankannya adalah program yang sangat bersifat umum serta menyangkut seluruh penyediaan infrastruktur kota seperti terlihat berikut:

Jadual 4.9: Program Regional Agency untuk Pekerjaan Perumahan
No
Tahun
Program
1
1997-1998
Meneliti rumah tahan gempa tipe 36 (Luas lantai 36 m2) dan Penyuluhan Perumahan secara Teknis
2
1998-1999
Perbaikan Lingkungan Perumahan terutama drainage dan footpath.
3
1999-2000
Perbaikan Saluran drainage pada Pinggiran Sungai
4
2000
Penelitian Rumah sehat yang menggunakan bahan lokal. Penyusunan observasi teknis di lingkungan Perumahan. Penelitian Infrastruktur di Pemukiman Kumuh dan Perbaikan Saluran drainase dan Monitoring Pembangunan Infrastruktur.
4
2001
Perbaikan Footpath di Distrik Tuntungan
5
2002
Perbaikan Drainase di Kota Medan dan Pinggiran Kota. Menyediakan 36 Unit Rumah Murah Instant dan sebuah model rumah murah. Penyediaan Drainage untuk PERUMNAS Martubung.
5
2003
Rehabilitasi dan Pembangunan saluran Drainage. Melakukan kordinasi dengan instansi yang berhubungan dengan pembangunan Perumahan dan sector private. Monitoring Pembanguinan Rumah yang dilakukan oleh NGO. Training tenaga penyuluh dibidang Planning dan Settlement.
Sumber: sorted through the data of Dinas Tarukimsu in 1998-2003


Strategi Perumahan di kota Medan tidak jauh berbeda dengan kebijakan Rejional Propinsi Sumatera Utara dan Kebijakan Nasional, yaitu menyerahkan pengadaan Perumahan kepada pasar. Keadaan ini terefleksi pada anggaran pembangunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Lokal seperti terlihat pada tabel berikut. Pengeluaran untuk Pekerjaan Umum adalah penyediaan infrastruktur kota secara menyeluruh seperti jalan, drainase serta fasilitas kota terlihat sebagai dinas yang memiliki anggaran yang paling kecil.

Jadual 4.10: Perbandingan Bajet Departemen Utama Kota Medan 2001-2005
Tahun
Menurut Dinas (Rp 000)
Pek Umum
Kesehatan
Koperasi
Pendidikan
Sub-Total
Pertamanan
2001
9.289.726
231.840
18.520
4.604.991
14.145.077
637.6521
2002
26.938.727
2.718.875
20.368
4.475.038
34.153.008
11.288.715
2003
60.401.222
6.804.468
105.492
3.013.366
70.324.548
96.782.872
2004
37.005.058
4.012.000
21.737.127
14.182.719
57.373.490
119.835.362
2005
38.539.582
5.075.000
525.000
18.147.805
62.287.387
114.096.854
Sumber: Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) 2001-2005. dibulatkan

Pemerintah Kota Medan telah mendirikan dinas Perumahan dan Permukiman tahun 2002 dengan program sebagai berikut:

Tabel 4.11: Program Regional Agency untuk Pekerjaan Perumahan
No
Sector
Program
Jumlah Program
%
1
Pendidikan
Maintenans Fasilitas Pendidikan
65
14.41
2
Kesehatan
Pelayanan Kesehatan untu Masyarakat
8
1.77
3
Pemerintahan
Pendirian dan Rehabilityasi Office
15
3.32
4
Perumahan
Perwatan Drainase dan Jalan Setapak
196
43.46
Renovasi Perumahan
80
17.74
Maintenance Gedung Pemerintah
87
19.28
Sumber: Dinas Permukiman-Medan in 2003

Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa kebijakan perumahan dikota Medan tidak menunjukkan program yang konkret dan nyata terhadap perbaikan kondisi perumahan penduduk miskin.
4.4.3. Perspektif Perumahan di Medan
Pada tingkat regional Sumatera Utara realisasi pembangunan rumah murah sangat rendah. Pada tahun 2005 di Sumatera Utara terdapat permintaan perumahan murah sebesar 6.800 unit, sedang Bank BTN hanya mengalokasikan dana untuk 3.700 unit rumah, realisasinya hanya sebesar 1.173 unit. Pada tahun 2006, terdapat potensi Rsh lebih dari 7.000 unit, BTN mengalokasikan dana subsidi untuk 2.600 unit rumah dan Bank SUMUT sebanyak 1.663 Unit rumah, realisasinya hanya sebesar 920 unit yang seluruhnya dibiayai oleh BTN[32].
Keperluan perumahan biasanya diadakan sendiri oleh yang penduduk tanpa bantuan daripada pihak pemerintah daerah. Berdasarkan bancian yang diadakan oleh pejabat statistik Sumatera Utara (1997) keadaan fizikal perumahan di kota Medan sebagai berikut;
Luas lantai yang berkisar di antara 50-99,00 M2 menempati persentasi tertinggi (40.82 %) dari seluruh rumah, diikuti oleh rumah yang memiliki luas lantai 20 - 49,00 M2 (31.82 %) dan 100-149,00 M2 (16.98 %), rumah yang memiliki luas lantai lebih dari 150,00 M2, yang didominasi oleh rumah mewah, hanya meliputi 8.64 %, sedang rumah yang luas lantainya kurang dari 20 M2 merupakan persentasi yang paling kecil (1.74%).
Penutup lantai didominasi oleh semen (57.99%), diikuti oleh seramik yang lebih mahal (26.62 %) dan yang termahal ialah jenis marmar dan sejenisnya (12.92%), sedangkan bahan yang non-fabrikasi tidak begitu dominan seperti papan (1.21%), buluh (0.10 %), sebahagian dari rumah tersebut (1.06%) malah tidak memiliki lantai atau langsung diletakkan di atas.
Pembuatan jenis dinding didominasi oleh batu blok yang diambil daripada industri kampung/rakyat (70.02 %), disusuli pula oleh dinding papan (27.65 %) dan buluh yang dianyam (2.02 %).
Penutup atap didominasi oleh zink dan asbestos (79.57 %), diikuti oleh beton bertulang (11.28 %) dan genteng (6.32 %) sedang bahan rumbia dan sejenisnya hanya dalam jumlah yang kecil (1.75 %) dan persentasi yang paling kecil adalah rumah yang menggunakan sirap (0.98 %).
Sebahagian besar sudah memiliki kemudahan elektrik (98.42 %) dan air bersih (70.03 %) sedangkan bakinya menggunakan lampu minyak tanah untuk pencahayaan pada waktu malam dan 2.54 % dari rumah yang ada menggunakan air paip dari jana kuasa. Namun demikian, masih terdapat sebanyak 26.27 % yang menggunakan air perigi yang di dinding dan tidak di dinding 1.06 %.
Bahagian terbesar dari rumah yang ada sudah menggunakan air paip individu (86.04 %), sedang yang menggunakan air paip awam dan air paip kolektif terbatas masing masing adalah 8.55 % dan 1.52 % sedang baki rumah yang ada 3.89 % mungkin membeli air secara harian.
Kebanyakan (89.08 %) rumah tersebut menggunakan tandas peribadi dan tangki septik (septic tank individual), sedang yang menggunakan tandas awam dan peratusan kolektif terbatas masing masing adalah 0.30 % dan 10.48 % sedang bakinya membuang kotoran di sungai dan parit.
Pada sebuah survei yang dilakukan oleh Surbakti (1997)[33] terhadap penduduk golongan menengah dan bawah yang meliputi 248,500 ketua keluarga. Lebih dari 90 % rumah tangga tinggal di rumah yang didirikan sendiri yang biasanya disebut dalam istilah perumahan sebagai rumah spontan (spontaneous housing). Keluarga yang berpendapatan kurang dari Rp 300,000/bulan adalah 71.40 % dan yang lebih tinggi 28.60 %. sedang keluarga yang berpendapatan kurang dari Rp 200.000/bulan adalah sebesar 39 %, Persentasi penduduk ini secara umum merupakan penduduk yang tidak memiliki affordability untuk memiliki rumah meskipun bersubsidi. Penemuan kajian ini telah melengkapkan hasil yang disebut di atas. Perumahan masih dalam keadaan bagus dan relatif bagus (89.80 %) hanya 10.20 % yang keadaannya rusak dan tidak layak untuk diduduki. Luas lantai didominasi (52.50 %) keluasan yang relatif kecil iaitu kurang dari 50,00 M2. Angka ini tidak sesuai dengan angka yang dikeluarkan pejabat statistik. Menurut pengamatan terakhir luas lantai ini berkisar di antara 50-100 M2.
Pada tahun 1997 tersebut, persentasi penduduk yang menempati rumah miliknya sendiri meliputi 43.10 % dari jumlah keluarga, sedang 43.40 % dari keluarga tinggal di rumah sewa yang dibayar bulanan (19.60 %), kontrak 2 tahun (23.80 %) dan bakinya 13.5 % menumpang di rumah keluarga tanpa membayar. Sebanyak 83.20 % keluarga yang menyewa secara bulanan membayar kurang dari Rp 50.000 hanya sebesar 16.80 % dari keluarga yang membayar lebih dari jumlah tersebut, sedangkan 87.31% dari keluarga yang mengontrak, harus mengeluarkan Rp 1.200.000 untuk dua tahun sedang 12.69 % dari keluarga harus membayar lebih besar.
Bahan penutup lantai yang dominan adalah semen (81.10 %), disusuli oleh keramik yang lebih mahal (15.30 %), sedang 3.60 % menggunakan berbagai jenis bahan yang lain.
Penutup dinding didominasi olah papan (51.90 %), batu bata (43.00 %) dan bakinya (5.10 %) menggunakan bahan yang lain seperti zeng dan asbestos.
Penutup atap umumnya (95.80 %) terbuat dari zeng dan asbestos. Sebahagian besar (69.80 %) memiliki tandas individu dan tangki septik (septic tank) dengan anaerobic degradation process, sedang penggunaan komunal dan tandas umum masing masing digunakan oleh 29.00 % dan 1.20 % keluarga. Persentasi rumah yang memiliki bilik mandi individu cukup tinggi (72.60%) diikuti oleh tandas yang digunakan bersama oleh beberapa keluarga (26.70 %) dan 0.70 % keluarga menggunakan tadas komunal.
Menurut banci sebanyak 56.90 % dari keluarga tidak memiliki rumah, dan 9.30 % ingin sekali membeli rumah, sedang pemilik yang menempati rumahnya sendiri adalah 43,10 % jumlah populasi. Sejumlah keluarga (18 %) ingin membangun kembali atau merenovasi rumah yang mereka tempati, sedang 9.30 % lebih memilih akan membeli rumah yang sudah siap manakala bakinya 6.60% cukup berpuas hati dengan menyewa. Apa yang mengherankan hanya 0.88 % dari penduduk yang bersedia tinggal di rumah bertingkat (rumah susun). Kemungkinan mereka tidak mahu tinggal di rumah bertingkat disebabkan banyak menyusahkan terutama untuk membawa barang keperluan harian dan juga penjagaan bayi.
Sebanyak (35.40 %) keluarga dari seluruh keluarga (43.10 %) yang menempati rumah milik sendiri yang menyatakan amat menyenangkan dan mereka amat menyenangi dengan lingkungan yang mereka tempati sekarang dan tidak ingin lagi berpindah. Dengan demikian, hanya 7,70 % yang menyatakan tidak berpuas dan ingin pindah. Jumlah populasi yang menyatakan berpuas hati dengan keluasan lantai rumah yang mereka tempati adalah 54.00 % dan 83.70%. Penduduk yang bekerja menyatakan cukup berpuas hati dengan akses yang menghubungkan rumah dengan tempat mereka bekerja. Mungkin disebabkan sebahagian besar (71.17%) dapat ke tempat bekerja dalam waktu kurang dari 30 minit. Sebahagian dari mereka menggunakan pengangkutan awam (32.32%), dan sebahagian lagi menggunakan kenderaan peribadi (29.57%) dan bakinya berjalan kaki (37.91%).
4.4.4 Stok Perumahan
Penduduk Medan telah tumbuh sebesar 2.33 % per tahun selama penggal 1980-1990, accordingly the population density increased from 52.04 orang per hektar pada tahun 1980 menjadi 65.43 orang per hektar pada tahun 1990 pada tingkat pertumbuhan 2.55 per tahun. Daerah kota merupakan daerah terpadat (232.51 orang per hektar) pada tahun 1980, tetapi turun menjadi 228.43 orang per hektar pada tahun 1990 mungkin disebabkan projek peremajaan sukaramai. Pada tahun yang sama daerah Labuhan memiliki kepadatan terendah iaitu 8.99 orang per hektar pada tahun yang sama lalu meningkat menjadi 13.32 orang per hektar pada tahun 1990.
Jadual 4.12: Pertumbuhan Stok Perumahan per Daerah tahun 1990-1997

No

Daerah

Area
(ha)

%
1990
Jenis Rumah menurut bahan bangunanan
1997
Jenis Rumah menurut bahan bangunanan
Durable
Semi
Temporary
Subtotal
Durable
Semi
Temporary
Subtotal
1
Kota
527
1.99
9,977
3,762
1,487
15,226
10,598
2,615
975
14,188
2
Timur
776
2.93
8,322
6,068
2,470
16,860
11,192
5,838
2,029
19,059
3
Perjuangan
409
1.54
8,617
8,009
2,569
19,195
8,343
3,867
2,915
15,125
4
Barat
682
2.57
6,604
4,322
3,359
14,285
7,501
2,150
1,765
11,416
5
Baru
584
2.20
4,308
2,481
1,494
8,283
4,955
2,160
1,252
8,367
6
Denai
405
3.41
6,623
5,285
1,987
13,895
7,521
4,410
3,697
15,628
7
Deli
2,084
7.86
7,606
5,078
2,183
14,867
7,510
5,490
3,494
16,494
8
Labuhan
3,667
13.8
2,137
1,970
4,613
8,720
1,970
12,301
3,528
17,799
9
Marelan
2,382
8.99
2,936
3,874
3,645
10,455
3,765
3,867
2,915
10,547
10
Belawan
2,625
9.90
1,221
3,221
6,821
11,263
635
715
1,593
2,943
11
Johor
1,458
5.50
5,367
3,202
1,058
9,627
8,395
1,432
2,700
12,527
12
Sunggal
1,544
5.83
3,697
2,645
1,730
8,072
6,881
4,994
2,754
14,629
13
Tuntungan
2,068
7.80
2,738
1,280
490
4,508
6,821
714
411
7,946
14
Area
552
2.08
9,443
5,090
2,691
17,224
11,235
9,912
22,118
43,265
15
Amplas
1,119
4.22
4,490
3,518
1,671
9,679
7,350
6,000
95
13,445
16
Petisah
533
2.01
6,388
3,952
2,037
12,397
8,768
2,137
2,566
13,471
17
Polonia
901
3.40
3,745
2,556
1,252
7,553
4,062
2,005
840
6,907
18
Maimun
298
1.13
4,680
1,203
1,456
7,339
4,204
2,836
160
7,200
19
Tembung
799
3.01
5,159
3,120
1,827
10,106
6,907
6,215
4,061
17,183
20
Helvetia
1,316
4.97
9,449
8,227
2,566
20,247
11,220
7,117
2,337
20,674
21
Selayang
1,281
4.97
4,832
2,175
675
7,682
9,988
6,072
2,114
18,174

Total
26,510
100
118,339
81,038
48,081
247,483
149,821
92,847
64,319
306,987
Sumber: Kecamatan dalam Angka 1997, Rencana detail Tataruang Kotamadya Medan, dan Monografi Kecamatan 1997 dalam Loebis, M.N (1998). Peremajaan Kawasan Kumuh di Kotamadya Medan Unpublished.

Tetapi, sesudah perubahan wilayah daerah dari 19 menjadi 21 pada tahun 1992, daerah Kota dipecah menjadi dua iaitu daerah Kota dan area, akibatnya kepadatannya pada tahun 1997 masing masing adalah 99.12 orang per hektar dan 124 orang perhektar. Tingkat pertumbuhan keluarga adalah 3.88% per tahun selama tahun 1980-1990, yang sedikit lebih tinggi berbanding pertumbuhan penduduk. Produksi rumah tumbuh pada tingkat 5.54 % per tahun pada penggal yang sama. Akibatnya, terdapat perbezaan yang ketara antara stok perumahan dan keluarga yang memerlukan rumah untuk tempat berteduh.
4.4.5. Housing Need (Keperluan Perumahan)
Housing Need beserta klassifikasinya telah dikemukakan oleh Grace (2005) berdasarkan pada keputusan tiga menteri yang dikeluarkan tahun 1995, berkenaan dengan kebijakan alokasi perumahan. Dimana Developer diharuskan membangun rumah Mewah, Rumah Sedang dan Rumah Murah dengan perbandingan 1:3:6. Hasilnya adalah seperti Tabel dibawah ini.

Table 4.13: The Housing Need in 1998-2003
Tahun
Population
Jumlah Orang/
Keluarga
Housing Needs (Unit)
Rumah Sederhana (60 %)
Rumah Sedang (30 %)
Rumah Mewah (10 %)
1997
1,976,298
6.25
316,090
189,654
94,827
31,609
1998
1,901,067
5.93
320,834
192,500
96,250
32,083
1999
1,902,500
5.86
324,674
194,804
97,402
32,467
2000
1,904,273
4.33
439,307
263,584
131,792
43,931
2001
1,926,520
4.33*
444,924
266,954
133,477
44,492
2002
1,963,855
4.33*
453,546
272,128
136,064
45,355
2003
1,982,708*
4.33*
457,900
274,740
137,370
45,790
Sumber: Medan Statistical Year Book 1998-2002 (Biro Pusat Statistik-Medan) * Projected
Housing need untuk setiap tahun akan diperoleh dengan mengurangi jumlah housing need dari tahun sebelumnya dengan housing need pada tahun yang berkenaan.


Jadual 4.14: Housing Need Unit/Year in 1998-2003
Tahun
Housing Need Rumah
Akumulasi Sederhana (60 %)
Rumah Sederhana
Akumulasi Rumah Sedang (30 %)
Rumah Sedang
Akumulasi Rumah Mewah (10 %)
Rumah Mewah
1997
189,654.00

94,827.00
1,423.20
31,609.00

1998
192,500.40
2,846.40
96,250.20
1,152.00
32,083.40
474.40
1999
194,804.40
2,304.00
97,402.20
34,389.90
32,467.40
384.00
2000
263,584.20
68,779.80
131,792.10
1,685.04
43,930.70
11,463.30
2001
266,954.27
3,370.07
133,477.14
2,586.72
44,492.38
561.68
2002
272,127.71
5,173.44
136,063.86
1,306.21
45,354.62
862.24
2003
274,740.14
2,612.43
137,370.07

45,790.02
435.40
Sumber: Diproses dari tabel 4.13.

Rumah yang dapat dibekalkan hanya sekitar 40 % dari housing need sehingga housing demand adalah 60 % dari housing need (274.740) yaitu sebesar 164.844 unit pada tahun 2003.
4.4.6 Penyediaan Perumahan
Peningkatan harga minyak pada tahun 1970 an dan dan pinjaman yang berlimpah dari IMF (International Monetary Funds) pada dua dekad terakhir telah merangsang (menstimulasi) pembangunan fizik di kota-kota besar di Indonesia seperti Medan. Pemerintah pusat melalui Perumahan Nasional (Perumahan Nasional disingkat Perumnas) telah membangun perumahan awam untuk golongan berpendapatan rendah pada tahun 1980 di dua lokasi di Medan. Yang pertama, berlokasi di daerah Helvetia yang merupakan bekas kawasan perladangan Belanda di pinggiran barat kota Medan dan yang kedua, berlokasi di batas luar arah tenggara Medan, berbatasan dengan daerah Denai. Dua projek yang sejenis dibangun daerah Tuntungan dan daerah Kota pada tahun 1985. Seterusnya, yang terakhir dan terbesar dibangun di daerah Labuhan pada tahun 1996. Pada tahun yang sama, pemerintah daerah juga membangun perumahan rumah murah untuk nelayan di Belawan untuk menampung penduduk yang dipindahkan akibat perlebaran sungai Deli. Namun, jumlah tersebut tidak berarti, jika dibandingkan keperluan rumah pada penggal dan tahun yang sama.

Jadual 4.15: Pembekalan Rumah yang Ditawarkan Pemerintah Pusat 1980-1996
No
Nama Perojek
Lokasi/ daerah
Area (Ha)
Kwsn
Units
Unit
Tahun

Level biaya
Jenis
1
Helvetia
Helvetia
190.00
4,804
1980
Low - cost
Couple
2
Mandala
Border
180.00
9,590
1980
Low - cost
Couple
3
Simalingkar
Tuntungan
215.00
7,270
1985
Middle/Low
Row
4
Sukaramai
Kota
3.24
400
1985
Low -cost
Walk up
5
Martubung
Labuhan
100.00
5,000
1996
Middle/Low
Couple
Martubung
Labuhan
200.00



Reserve

Sub Total

888.24
27,064



Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Jadual 4.16: Pembekalan Rumah yang Ditawarkan Pemerintah Daerah 1996-1998
No

Project title
(Nama Projek)
Location in district
Lokasi
Area (Ha)
Kwsn
Units
Unit
Year built
Tahun dibina
Cost level
Tingkat Harga
Remarks
Catatan
1
Fisherman village
Labuhan
90.00
1,086
1996
Low -cost
Couple
958
1998
Low -cost
Couple

Sub total

90.00
2,044



Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Disebabkan rumah yang ditawarkan pemerintah tidak begitu mempengaruhi bekalan maka jurang antara permintaan dan persediaan, maka pasar perumahan tetap terbuka luas bagi pemaju swasta, terutama penyediaan perumahan bagi penduduk berpendapatan menengah ke atas. Salah satu projek yang tergolong pertama ikut serta dalam penyediaan perumahan ini adalah Setiabudi Indah, terdiri dari 2,038 unit di daerah Sunggal ke arah selatan kota Medan.
Cerita keberhasilan Setiabudi Indah sebagi projek pionir telah mendorong para pemaju perumahan pada akhir dekad ini. Namun, jumlah pengeluaran mereka tidak juga dapat menutup permintaan yang ada. Pada kenyataannya, bahagian terbesar perumahan dibangun oleh penduduk secara individual dan spontan tanpa bantuan pemerintah.




4.17: Bekalan Perumahan oleh Pemaju Swasta Tempatan 1985-1994
No

Project title
Location (district)
Area (Ha)
Units
Year built
Cost level
Remarks
1
Setia Budi
Sunggal
600.00
2,038
1985
Luxury
Vary
2
Menteng Indah
Tenggara
39.00
452
1988
Middle
Vary
3
Malibu
Polonia
20.00
398
1990
Luxury
Row
4
Royal Sumatra
Tuntungan
164.60
823
1994
Luxury
Detached
5
Cemara hijau
T.Mulia
31.90
1,211
1966
Mid/High
Vary
6
Puri T.Sari
Sunggal
3.39
113
1997
Middle
Couple
7
Padang hijau
Sunggal
11.10
869
1996
Mid/Low
Couple
8
Cendana Asri
Tembung
29.75
1,400
1996
Low
Row
Cendana Asri
Tembung
27.50
600
1966
Low
Row
9
Pancing Emas
Tembung
24.35
651
1996
Luxury
Row
10
Taman Citra
Deli
1.00
30
1996
Mid/Low
Couple
Taman Citra
Deli
17.70



Reserved
11
Villa Gading
Ampelas
4.84
185
1994
Luxury
Row
Villa Gading
Ampelas
4.20
162
1996
Luxury
Row
12
Palm Mas
Sunggal
1.57
127
1994
Middle
Row
13
Taman Kasuari
Sunggal
2.05
104
1996
Luxury
Row
14
Villa Polonia
Polonia
1.91
58
1996
Luxury
Row
15
Bumi Sunggal
Sunggal
2.18
108
1996
Shop-house
Row
16
Riviera Village
Ampelas
12.71
531
1996
Mid/Low
Row
17
Greenland
Sunggal

100
1996
Mid/Low
Vary

Greenland
Sunggal

260
1996
Shop-house
Row
18
Green Garden
Barat
1.41
45
1996
Luxury
Row
19
Deli Permai
Johor
22.00
733
1995
Low Cost
Couple
20
Griya Riatur

Helvetia

27.78
482
1993
Luxury
Row
660
1993
Shop-house
Row
21
Tomang Elok
Sunggal
2.79
186
1990
Shop-house
Row
22
Taman Laguna
Johor
1.67
111
1995
Mid/Low
Couple
23
Timor Garden
Timur
2.07
69
1994
Luxury
Row
24
Westin
Polonia
1.00
50
1996
Apartment
10th Floor
25
Semayang
City border
3.56
202
1995
Mid/Low
Row
3.00



Reserve
26
Lake View
Johor
12.50
419
1994
Luxury
Row
20
1994
Shophouse
Row
27
Emerald G
Barat
2.54
64
1994
Mid/Low
Row
28
Villa Prima
Johor
6.60
222
1994
Mid/Low
Row
29
Taman Tamora
border
2.64
91
1994
Middle
Couple
2.40
120
1994
Low
Couple
30
Villa Deli
Maryland
3.40
206
1995
Low Cost
Row
31
Asri Land
Helvetia
26.62
1,324
1994
Mid/Low
Vary
32
Cemara Asri
T.Mulia
107.00
535
1994
Luxury
Vary



Reserved
33
The Grand
Helvetia
250.00
476
1994
Luxury
Detached

1994
Luxury
Site/Service
34
Bumi Seroja
Sunggal
10.00
285
1994
Middle
Semi
35
Budi Amal
Johor


1994
Middle
Row
36
Villa Prima
Johor


1994
Middle
Row
37
Johor Permai
Johor
260.00
1,200
1989
Mid/Low
Vary

Sub Total






Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan


4.4.7.Keadaan Perumahan di Kota Medan pada 1998-2003

Pada tahun 1998, seperti yang ditunjukkan pada jadual di bawah, penyediaan perumahan hanya memenuhi sepertiga dari ‘housing need’.

Jadual 4.18: Keadaan Perumahan di Kota Medan pada Tahun 1998-2000
Housing
Proporsi Supply terhadap Housing Need (%)
Average
1998
1999
2000
Simple
3.62%
0.09%
0.29%
1.33%
Middle-class
89.66%
70.23%
7.83%
55.90%
Luxurious
9.70%
19.79%
1.86%
45%
Overall developed
102.97%
90.10%
9.98%
67.68%
Fulfilled
34.32%
30.03%
3.33%
22.56%
Surplus / Shortage
-65.68%
-69.97%
-96.67%
-77.44%
Sumber: Diolah dari tabel sebelumnya

jadual 4.19: Keadaan Perumahan di Kota Medan pada Tahun 2001-2003

Housing
Proporsi Supply terhadap Housing Need (%)
Average
2001
2002
2003
Simple
46.29%
2.22%
27.98%
25.50%
Middle-class
267.17%
74.50%
233.81%
191.83%
Luxurious
51.10%
9.63%
43.18%
34.63%
Overall developed
364.56%
86.34%
304.97%
251.96%
Fulfillled
121.52%
28.78%
101.66%
83.99%
Surplus / shortage
21.52%
-71.22%
1.66%
-16.01%
Sumber: Diolah dari tabel sebelumnya


4.5. Beberapa Kes Pembangunan Perumahan di Kota Medan

4.5.1.Perumahan PERUMNAS Martubung
Dari hasil bancian di perumahan Martubung yang dibangun oleh Perumnas untuk golongan berpenghasilan rendah dan menengah, ditemukan bahawa affordabilitas ditentukan oleh; Tingkat pendapatan, Alokasi Pendapatan, Tingkat harga rumah yang tersedia, serta pilihan Pengeluaran (Panjaitan:2006)[34]. Menurut Panuju, dalam menentukan prioritas tentang rumah, masyarakat berpenghasilan rendah cenderung meletakkan pilihan utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan dengan tempat yang memberikan peluang kerja, status kepemilikan tanah dan rumah merupakan pilihan kedua sedang bentuk maupun kualitibangunan menempati pilihanir. Yang terpenting pada tahap ini adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya meneruskan ( Panudju 1999)[35].

Jadual Kelompok Sasaran Perumahan Murah

Kel
Penghasilan (Rp/Bulan)
Subsidi Bunga
Subsidi Uang Muka
Min
DP (%)
Maks KPR (Rp)
Maks Tenor (Tahun)
Min
DP (%)
Maks KPR (Rp)
MaksTenor (Tahun)
I
900.000-1.500.000
10
37.800.000
20
17
33.800.000
20
II
500.000-900.000
10
27.000.000
20
23
23.000.000
20
III
350.000-500.000
10
15.300.000
20
35
11.050.000
20
Sumber: Peraturan MENPERA 2005


Jadual 4.21: Subsidi Bagi Penduduk Berpenghasilan Rendah

Kel
Penghasilan (Rp/Bulan)
Subsidi Bunga/%/tahun
Subsidi Uang Muka (Rp)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
I
900.000-1.500.000
8,5
12
13,5
14






3.000.000
II
500.000-900.000
7,5
9
10,5
12,5
13,5
14




4.000.000
III
350.000-500.000
5
5,5
6,5
7,5
8,5
9,5
10,5
12,5
13,5
14,5
5.000.000
Sumber: Peraturan MENPERA 2005 dalam Panjaitan 2006[36]



Jadual 4.22: Perumahan PERUMNAS Martubung

No
Tahap
Tahun
Luas (Ha)
Rencana
Realisasi
1
I
2002
11,1435

3.305
2

2003


99
3
II
2004
16,7877

437
4

2005

483
443

Jumlah

276,25


Sumber: Panjaitan 2006



Jadual 4.23: Jarak Rumah ke Lokasi
No
Jarak Rumah-Kerja (Km)
Persentase (%)
1
< 1,00
7
2
1,01-2,00
14
3
2,01-3,00
21
4
3,01-4,00
42
5
> 4,00
6

Jumlah
100









Sumber: Panjaitan 2006

Lokasi berbanding lurus dengan distribusi pengeluaran untuk transportasi, dimana 58 % penduduk hanya mengeluarkan 5 % pendapatannya untuk transportasi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penduduk bekerja disekitar lokasi pemukiman. Hasil statistik menunjukkan bahawa lokasi sangat mempengaruhi keinginan untuk memiliki rumah.

Jadual 4.24: Distribusi Pendapatan berdasarkan Pengeluaran Penduduk


No
Pengeluaran
Persentase Pengeluaran/Persentasi Responden
Rata-rata Pengeluaran
< 10
11-20
21-30
31-40
41-50
1
Makanan
8
38
46
6
2
20,60
3
Pendidikan
55
40
4
1
0
10,10
4
Pakaian
92
8
0
0
0
5,80
5
Perumahan
10
13
52
15
10
25,20
6
Transportasi
58
31
6
4
1
10,90
7
Services
82
18
0
0
0
6,80
8
Consumer Goods
62
22
6
1
0
8,25
9
Tabungan
93
4
2
2
0
6,10
10
Lain-lain
92
5
2
1
0
6,20
Sumber: Panjaitan 2006
















Jadual 4.25: Harga Jual Rumah di Martubung Sebelum tahun 2005
No
Komponen Biaya
Besaran (Rp)
Total (Rp)
1
Harga Jual Rumah Standard tipe 36
42.000.000

2
Kelebihan tanah (6 m2)
720.000
42.720.000
3
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%
4.272.000

4
Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
636.000

5
Notaris
663.000
48.291.000
6
Uang Muka Minimum
10.000.000

7
Sisa Pinjaman
38.291.000

8
Angsuran perbulan selama 15 Tahun
460.000

Sumber: PERUMNAS Martubung dalam Panjaitan (2006)[37]

Hasil penelitian dilokasi perumahan yang dipsponsori oleh pemerintah jelas menunjukkan bahwa penghuninya secara keseluruhan adalah penduduk yang sesungguhnya memiliki affordabity yang cukup tinggi dan bukan termasuk 20 % penduduk miskin yang sangat memerlukan perumahan. Keadaan ini semakin jelas jika pengeluaran penduduk, pendapatan dan harga unit rumah dilokasi ini dibandingkan dengan pendapatan serta pengeluaran penduduk di pemukiman kumuh.






Gambar 4.3: Rumah di PERUMNAS Martubung Tipe 70


Gambar 4.4: Rumah di PERUMNAS Martubung Tipe 70



4.5.2.Petempatan Kumuh Tegalsari
Kelurahan Tegalsari I terletak di Kecamatan Medan Area. Tegalsari I merupakan salah satu kelurahan yang berbatasan dengan jalan Lingkar Tengah (Intermediate ring road). lokasi kelurahan sangat strategik kerana dekat dengan rencana pusat lingkungan (rencana Master Plan tahap ke dua). Kelurahan dibatasi oleh dua buah jalan iaitu Jalan Arief Rahman Hakim (Intermediate ring road) dan gang Langgar serta sebuah sungai iaitu sungai Sulang Saling (lihat peta kelurahan). Luas Kelurahan sebesar 24,5 Ha dengan jumlah penduduk sekitar 9.347 orang pada tahun 1990 sehingga kepadatan sudah mencapai 381 orang/Ha pada tahun tersebut, sedang jumlah keseluruhan rumah tangga adalah sebesar 2.192 dengan jumlah purata orang per keluarga adalah 4,2 orang. Kelurahan terdiri dari 9 (sembilan) buah lingkungan, 21 (dua puluh satu) Rukun Warga (RW) dan 41 (empat puluh satu) Rukun Tetangga (RT). Di kelurahan Tegalsari I terdapat berbagai kegiatan industri kecil. Yang menonjol diantaranya ada 4 buah yang melibatkan 68 orang tenaga kerja sedang home industri (industeri perumahan) melibatkan 11 buah rumah tangga dengan tenaga kerja sekitar 46 orang.
Seperti telah disebut sebelumnya penduduk Kelurahan adalah sebanyak 9.347 orang dengan luas 24,5 Ha. dan kepadatan 381 orang/Ha. Jumlah jumlah KK adalah 2.191 KK. Menurut monografi kelurahan tahun 1992, Jumlah rumah yang ada di kelurahan hanya 1.564 buah rumah sehingga secara mudah dapat disimpulkan bahawa banyak kelurga yang tinggal serumah dengan keluarga yang lain. Untuk tingkat kelurahan maksimal sekitar 28 % yang hidup lebih dari satu keluarga dalam satu rumah. Kondisi rumah semi permanen dan temporer pada umumnya substandard dan tidak dapat dikategorikan sebagai perumahan layak tetapi jelas masuk kategori kumuh.
Ditinjau dari penyediaan perumahan yang layak maka kekurangan rumah di kelurahan Tegalsari I tidak kurang dari 1.094 unit, kerana keadaan perumahan permanen yang adapun tidak memenuhi syarat sebahagian perumahan yang layak. Kepadatan bangunan di Kelurahan Tegalsari I adalah 63,8/Ha, dari angka tersebut kelihatan bahawa kepadatan bangunan (building density) masih dalam kategori sedang, sedangkan kepadatan penduduk cukup tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahawa tingkat hunian/ tingkat petempatan (Floor density) sangat tinggi.

Letak dan batas-batas kelurahan:
Sebelah Barat :berbatasan dengan jl. Arief Rahman hakim yang merupakan inner ring road yang akan menghubungkan seluruh bagian kota dibahagian pusat kota (City Core)
Sebelah Utara :berbatasan dengan Sungai Sulang Saling yang dalam keadaan normal berfungsi cukup baik sebagai saluran drainage, tetapi dalam musim hujan dapat menjadi sumber banjir.
Sebelah Selatan :berbatasan dengan jalan Langgar yang memisahkan kelurahan ini dengan kelurahan Tegalsari II dengan keadaan yang hampir sama terutama di daerah perbatasan.
Sebelah Timur :berbatasan dengan kelurahan Tegalsari Mandala I dan Tegalsari Mandala III yang kondisinya relatif sama terutama di daerah perbatasan
Kelurahan ini di belah oleh Jalan Denai dari arah Timur ke Barat. Jalan Denai ini merupakan jalan yang menghubungkan jalan Lingkar Dalam (Inner ring road) dan jalan Lingkar Luar (Outer ring road). serta jalan Toll Belawan Medan Tanjung Morawa (Belmera) Dari sudut geografis letak kelurahan ini sangat strategik.
4.5.2.1.Penggunaan Rumah
Penggunaan rumah di kelurahan Tegalsari I sebahagian tidak hanya untuk rumah tinggal tetapi digunakan juga untuk kegiatan Industri (home industry). Diantaranya adalah pembuatan kasut dan pakaian.
4.5.2.2.Keadaan Fizikal Kawasan Kumuh
Seperti sudah di sebut pada bagian sub 4.1. kelurahan Tegalsari 1 merupakan kelurahan yang cukup padat iaitu berkisar antara 300 - 500 orang/Ha. Luas kelurahan sekitar 24,5 Ha . dan terdiri dari 12 lingkungan . kelurahan termasuk kecamatan kota yang merupakan bahagian dari pusat kota (Central Business District-CBD) dan berbatasan dengan jalan lingkar dalam (Inner ring road) . Lokasi dilewati oleh sungai Sulang Saling dan sebuah parit besar yang keduanya sering melimpah pada musim hujan di tambah dengan keadaan drainage yang tidak baik kerana rapatnya rumah menyebabkan banjir dan di genangi air.

4.5.2.3.Infrasruktur, Kemudahan dan Utiliti
Kemudahan kerohanian di dalam lokasi terdiri dari 5 (lima ) buah Mesjid dan Langgar yang dapat melayani keperluan minimal umat Islam di daerah tersebut. Gereja terdapat satu buah , sedang Pura, Vihara dan Kelenteng tidak terdapat di lokasi walaupun penganut agama Budha meliputi 33.34 % dari penduduk kelurahan. Pasar dan pusat pekerjaan terdapat di sekitar Jl. Denai dan Jl. Arief Rahman. Pasar tersebut melayani penduduk di sekitar lokasi dengan radius pelayanan 1-2 km. Kondisi pasar tersebut belum teratur kerana pada umum nya aktivitai jual beli terjadi di jalan Arief Rahman Hakim yang di rencanakan sebagai jalan pintas (Through road). Kemudahan keamanan seperti pejabat Polis terdapat di lokasi sedang beberapa Pos Hansip tersebar di lokasi. Pusat kesihatan Masyarakat (Puskesmas) yang di peruntukkan melayani beberapa kelurahan berlokasi di kelurahan Tegalsari 1. Akses, terutama jalan masuk dan keluar lokasi sangat baik. Hanya jalan-jalan lingkungan di dalam lokasi yang sangat jauh di bawah standard. Kemudahan telefon sudah masuk ke dalam kelurahan walaupun jumlah nya masih belum memenuhi keperluan. Air minum dari PDAM sudah mencapai kelurahan tetapi belum seluruhnya menggunakan kemudahan tersebut terutama untuk daerah-daerah yang legalitasnya tidak jelas, untuk target group yang dibanci kelihatan bahawa lebih dari 90 % penduduk masih menggunakan air perigi. Kemudahan tandas (mandi, cuci dan bilik mandi-MCK) masih belum mencukupi, sehingga sungai dan parit masih di gunakan sebagai pembuangan. Kemudahan pendidikan yang tersedia di lokasi hanya TK dan SD yang daya tampungnya sangat kurang. TK daya tampungnya hanya 60 Orang sedang usia taman kanak-kanak dalam kelompok target group sudah mencapai 8.8 % atau 178 Orang. Sedangkan, untuk kelurahan mencapai 600 orang. SD daya tampungnya hanya 140 Orang sebaliknya sedang usia penduduk yang masih dalam usia belajar di sekolah sudah mencapai 11. 38 % atau 1,037 Orang. Kerana lokasi kelurahan berada di pusat kota, sebetulnya berbagai macam kemudahan yang ada di lingkungan dapat di guna secara bersama (sharing). Sehingga faktor kemudahan maupun utiliti bukanlah faktor yang dominan dalam perbaikan rumah kumuh di daerah Kelurahan Tegalsari I. permukaan tanah (kantour/kontur) kelurahan relatif datar .
4.5.2.4.Pemilikan Tanah

Menurut maklumat yang diperoleh dari kelurahan, dari seluruh tanah kelurahan seluas 24,5 Ha. baru 1 Ha yang sudah mempunyai geran hak milik sedang seluruhnya 23,4 Ha. belum mempunyai hak milik yang jelas.







4.5.2.5.Perumahan di Tegalsari

Keadaan rumah di kawasan ini purata sangat buruk dan tidak memenuhi kualiti kesihatan. Penggunaannya sangat effektif menurut salah satu penelitian yang dilakukan oleh Nawawiy[38], terdapat keluarga yang menggunakan rumah secara bergantian, penjaja sayuran menggunakan rumah pada malam hari kerana bekerja pada waktu siang hari sedang penjaja makanan seperti penjual sate menggunakan rumah yang sama pada siang hari kerana bekerja pada malam hari. Disamping itu, jumlah penghuninya rata-rata cukup banyak dan terdiri dari beberapa keluarga.

Jadual 4.2.6: Keadaan Perumahan Kumuh Tegalsari I
No
Bahan Bangunan
Kondisi
Jumlah
(Unit)
(%)
Total (%)

Permanen

910

37.08
Baik

52.13

Cukup Baik

35.11

Buruk

12.77


Semi Permanen

982

40.02
Baik

9.78

Cukup Baik

9.78

Buruk

80.43


Temporer

562


Baik

4.65
22.90
Cukup Baik

13.95

Buruk

81.40




2.454
100.00
100.00
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan




Gambar 4.5: Aerial View Pemukiman Kumuh Tegalsari

Gambar 4.6: Unit Hunian di Pemukiman Kumuh Tegalsari

Gambar 4.7: Unit Hunian di Pemukiman kumuh Tegalsari






Gambar 4.8: Unit Hunian di Pemukiman Kumuh Tegalsari
Gambar 4.9: Unit Hunian bekas Rumah Kebun di Pemukiman Kumuh Tegalsari


Gambar 4.10: Kawasan Tidak terkontrol Pemukiman kumuh Tegalsari








Jaduall 4.27: Deskripsi Tanah/2.454 Unit Bangunan Tahun 1994
No
Deskripsi Tanah/Bangunan
Persentase (%)
Keterangan

Jumlah Lantai



Berlantai i
89.91


Berlantai 2
10.07


Berlantai 3
00,55


Penggunaan Rumah



Tempat Tinggal
88.91


Tempat Tinggal dan Usaha
11.09


Status Pemilikan



Milik Sendiri
49.77


Menyewa
37.16


Menumpang
13.07


Legalitas Tanah



Sertifikat Hak Milik/Hak Guna bangunan
4.34


Surat Camat/Kepala desa
34.44


Jual beli tanpa legalitas
61.22

Jaduall 4.28: Infrastruktur dan Perkhidmatan yang Disediakan
No
Infrastruktur dan Perkhidmatan
Proporsi Penduduk (%)
Keterangan

Air Bersih


1
Perusahaan Air Minum Negara (PDAM)
38.91

2
Komunal Tap (Keran bersama dari PDAM
23.05

3
Sumur
31.10

4
Beli Kalengan dari Penjaja
6.94


Pembuangan Sampah


1
Dibuang di Halaman Rumah
2.64

2
Dibuang ditempat Khusus
3.85

3
Diambil oleh Petugas Kebersihan
36.70

4
Dibuang ke Sungai Terdekat
34.80

5
Dibakar
22.01


Tenaga Elektrik


1
Sambungan dari Negara (PLN)
79.54

2
Sambungan Illegal
15.86
dari rumah tetangga atau dari distribusi PLN
3
Tidak memakai Listrik
4.60


Tandas


1
WC dengan Septic Tank
59.07

2
WC tanpa Septic`Tank
28.85

3
Sungai dan Selokan
12.08

Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan
4.5.2.6.Penduduk
Penduduk yang bertempat tinggal di kelurahan Tegalsari I terdiri dari berbagai suku, etnik, kelompok umur dimana perbandingan antara wanita dan lelaki hampir sama banyak. Jumlah penduduk pada saat banci diadakan oleh kelurahan adalah 9.347 orang yang membentuk 2.192 rumah tangga (KK), dari total tersebut 50. 43 % adalah pria sedangkan 49.7 % adalah wanita. Dari jumlah wanita tersebut sekitar 877 orang adalah ibu rumah tangga dan sebahgian di antaranya (23 %) iaitu sekitar 200 orang ikut bekerja membantu suami. Purata jumlah anggota keluarga untuk setiap KK adalah 4.2 orang.

Jadual 4.29: Penduduk Menurut Etnik
No
Etnik
Jumlah (Jiwa)
Proporsi (%)
Keterangan
1i1
Minang
5.375
40.01

2
Mandailing
1.592
11.85

3
Batak Toba
2.366
17.62

4
Melayu
225
1.68

5
Jawa
1.334
9.93

6
Karo
246
1.83

7
Cina
1.897
14.12

8
Lain-lain
396
2.95


Jumlah
13.432
100.00

Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

4.5.2.7.Karakteristik Ekonomi
Penduduk kelompok usia 24-55 tahun yang ada di kelurahan ini secara teoritis dikelompokkan pada dua kelompok anggota keluarga iaitu yang membiayai (Independent family member) dan yang disantuni (dependent family member).
Jadual 4.30 : Komposisi Pekerjaan
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
Keterangan
1
Pegawai kerajaan
254
7.34
Pegawai negeri, perusahaan milik negara dll
2
Tentera
38
1.10
Polisi dan militer
3
Pesara
86
2.48
Pensiunan dari dua diatas
4
Pegawai Swasta
397
11.47
Pengadaan barang, jasa, kontraktor, perseroan
5
Pedagang Kecil
427
12.34
penjual kain, rumah makan, kelontong, eceran
6
Pedagang Kaki Lima dan Penjaja
918
26.52
idem dan penjual sate, sayur, makanan lain
7
Industri Rumah Tangga
82
2.37
Tukang sepatu, tukang jahit sub dari tauke
8
Buruh Industri Rumah Tangga
667
19.27
Pekerja dari industri diatas
9
Buruh Tidak Tetap
592
17.10
buruh bangunan, sopir, kuli ntukang beca dll

Jumlah
3.461
100.00

Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Dari jaduall komposisi di atas bahagian terbesar aitu 1.060 orang (63.78 %) adalah buruh tidak tetap & pengangguran. Dari hasil bancian diperoleh kedudukan data seperti berikut :
Jadual 4.31: Jumlah Anggota Keluarga yang Bekerja Keluarga.
No
Anggota Keluarga
yang Bekerja (Orang)
Jumlah
(Keluarga)
Persentase
(%)
Jumlah
(Orang)
1
1
2.414
83.39
2.414
2
2
408
14.09
816
3
3
61
2.11
183
4
4
12
0.41
48

Jumlah
2.895
100.00
3.461
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Sedangkan jumlah pendapatan kotor rumah tangga dari semua sumber adalah sebagai berikut :

Jadual 4.32 : Pendapatan Kotor (Rupiah/Kapita/Bulan).
No
Pendapatan
(Rupiah/kapita/bulan)
Penduduk
(%)
Rata-rata
(Rp/Kapita/Bln)
Keterangan

(Rupiah/kapita/bulan)



1
< 8.000
0.15
7.651

2
8.001-2.000
11.50
18.063

3
2001-35.000
20.42
30.397

4
35.001-50.000
25.18
47.772

5
50.001-65.000
10.07
64.459

6
65.001-80.000
11.55
78.921

7
80.001-95.000
5.92
94.798

8
95.001-120.000
6.57
110.954

9
120.001-130.000
1.06
129.267

10
130.001-150.000
1.47
141.621

11
>150.001
6.12
214.850


Jumlah
100.00
42.995






Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Jadual 4.33: Pendapatan Kotor Keluarga (Rupiah/Bulan).
No
Pendapatan Keluarga
Persentase (%)
keterangan
1
< 50.000
3.13

2
50.001-100.000
29.20

3
100.001-300.000
51.22

4
>300.001
16.45





Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Pengeluaran keluarga untuk keperluan yang essensil adalah sebagai berikut :

Tabel 4.34: Pengeluaran Penduduk yang Essensil
No
Pendapatan
Pengeluaran Penduduk/Kapita
dari 100 % Pendapatan
Jumlah
Makanan
Perumahan
Pakaian
Barang/Jasa

Rendah (Low Income)





1
10
72.94
18.42
6.59
2.59

2
10
68.91
21.24
7.22
2.63


Menengah-Rendah (Medium-Lower)





3
40
66.86
24.38
6.59
2.17


Menengah Atas (Medium-Upper)





4
40 M-A
55.89
24.64
12.22
7.25


Atas (High Icome)





5
40 A
36.54
22.42
18.08
22.96

Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Pada tahun 1995, saat penelitian dilakukan, batas kemiskinan menurut olahan hasil bancian sosial dan ekonomi nasional (1990) adalah Rp 21.751 perkapita perbulan, sehingga terdapat 11.65 % penduduk miskin dilokasi. Pendapatan purata penduduk Kota Medan pada tahun yang sama adalah Rp 60.509 (SBH 1998)[39].

Jadual 4.35: Pendapatan dan Parameter Lain yang dimiliki Penduduk
No
Parameter
Kelompok Penduduk/Rumah Tangga

Total


10-B
20-B
40-B
40-M
20-A

A.
Komposisi Pendapatan (%)
4.01
8.92
19.99
37.64
42.37
100.00
B.
Pendapatan kapita/Bln (Rp.)
17205.00
19181.00
21487.00
40461.00
91079.00
42995.00
C.
Rasio Penyebaran Pendapatan (%)

19.99


19.99

D.
Besaran Keluarga (Orang)







3 ≥
3.13
5.47
14.06
51.56
34.38
100.00

4
-
6.02
33.73
38.55
27.71
100.00

5
5.56
22.22
36.11
37.58
26.39
100.00

6
9.88
28.40
56.79
32.10
11.11
100.00

7
14.81
25.93
46.30
46.30
7.41
100.00

8
24.00
28.00
36.00
60.00
4.00
100.00

9
25.00
37.50
50.00
43.75
6.25
100.00

10 ≤
15.00
35.00
50.00
40.00
10.00
100.00

JUMLAH
7.82
17.97
35.94
42.71
21.35
100.00
E.
Jumlah Anggota Keluarga Yang Bekerja







1
9.65
21.72
42.63
41.55
15.82
100.00

2
1.45
4.35
14.49
50.72
34.78
100.00

3
-
4.17
4.17
41.67
54.17
100.00

4
-
-
-
28.57
71.43
100.00

Jumlah
7.82
17.97
35.94
42.71
21.35
100.00
F.
Pekerjaan Kepala/Anggota Keluarga







Pegawai Negeri/ABRI
3.13
3.13
3.13
46.88
50.00
100.00

Pegawai swasta
-
2.44
17.07
39.02
43.90
100.00

Pedagang
2.17
4.35
14.13
44.57
41.30
100.00

Pedagang Kecil
13.89
21.67
42.78
39.44
17.78
100.00

Home Industry
-
-
-
70.59
29.41
100.00

Buruh Tetap
17.24
19.83
37.93
51.72
10.34
100.00

Buruh Tidak Tetap
27.27
42.42
60.61
27.27
12.12
100.00

Lain-lain
6.25
18.75
18.75
18.75
62.50
100.00

Jumlah
7.82
17.97
35.94
42.71
21.35
100.00
G.
Pendidikan Kepala Keluarga







Tidak Sekolah
9.25
14.29
33.33
57.14
9.52
100.00

Sekolah Dasar
1.25
22.13
40.57
38.93
20.49
100.00

Sekolah Menengah Pertama
3.54
13.27
30.97
49.56
19.47
100.00

Sekolah Lanjutan Atas
7.14
14.29
32.14
44.05
23.81
100.00

PT/Akademik
0.00
5.26
10.53
47.37
42.11
100.00

Jumlah
7.82
17.97
35.94
42.71
21.35
100.00
H.
Kelompok Etnik







Padang
11.83
24.10
48.54
40.07
11.39
100.00

Mandailing
15.89
13.25
19.87
47.02
33.11
100.00

Batak
43.81
24.76
45.71
22.86
31.43
100.00

Karo
-
-
48.39
48.39
3.23
100.00

Melayu
24.73
20.43
27.96
65.59
6.45
100.00

Jawa
5.43
8.70
16.30
56.52
27.17
100.00

Tiongha
-
7.69
12.09
63.74
24.18
100.00

Lain-lain
38.46
41.03
43.59
48.72
7.69
100.00

Jumlah
10.00
20.00
40.00
40.00
20.00
100.00
I.
Status Keluarga Terhadap Rumah







Milik Sendiri
3.80
13.59
28.80
42.93
28.26
100.00

Menyewa
12.12
22.94
42.42
40.69
16.88
100.00

Menumpang
3.33
11.67
28.33
51.67
20.00
100.00

Jumlah
7.62
17.97
35.94
42.71
21.35
100.00
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Biaya bangunan pada tahun yang sama adalah dianggarkan sebesar Rp 250.000/m2 sedang harga tanah dilokasi ini bervariasi antara Rp 15.000-30.000/m2 sebagai akibat dari terjadinya gentrifikasi. Namun, diperkirarakan biaya konsolidasi adalah sebesar Rp 70.000/m2. Menurut analisis, jika lokasi ini diremamajakan/ baik pulih maka tanah dilokasi ini akan memiliki harga Rp 300.000-400.000/m2. Dengan demikian harga rumah jenis 36/100 adalah sebesar Rp 12.000.000. dengan perhitungan harga tanah Rp 40.000 di daerah pinggiran kota.

4.5.2.8.Keterjangkauan (Affordability)
Penghasilan maksimum yang dapat disisihkan untuk perumahan adalah :
Jadual 4.36: Kemampuan (Affordability)
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah KK
(%)
Pendapatan (Rp.000)
Affordability (Rp)
1
Pegawai Kerajaani
254
7.34
160-450
39.450-100.890
2
Tentera
38
1.10
160-450
39.450-100.890
3
Pesara
86
2.48


4
Pegawai Swasta
397
11.47
160-500
39.450-112.100
5
Pedagang Kecil
427
12.34
180-550
44.350-123.310
6
Pedagang Kaki Lima dan Penjaja
918
26.52
80-200
19.500-49.280
7
Industri Rumah Tangga
82
2.37
200-500
49.280-112.100
8
Buruh Industri Rumah Tangga
667
19.27
75-100
18.285-24.640
9
Buruh Tidak Tetap
592
17.10
60-100
14.628-24.640

Jumlah
3.461
100.00


Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

4.5.2.9.Karakteristik Rumah Tangga
Jumlah Penduduk Kelurahan Tegalsari I seperti telah disebut sebelumnya adalah 9.347 orang. Dari jumlah penduduk tersebut penduduk laki-laki terdiri dari 50. 43 % dan wanita 49.47 %. Golongan etnik keturunan cina terdiri dari 3.137 orang, sedangkan selebihnya terdiri dari berbagai suku etnik Indonesia yang lain terutama yang berasal dari Minangkabau (Pariaman).
Jadual 4.37: Komposisi Penduduk Dikawasan Kumuh Tahun 1994
No.
Umur
Umur
Lelaki
Wanita
Jumlah (Jiwa)
Proporsi
(%)
A
Usia Sekolah.




1
0-3
324
373
697
5.19
2
4-6
640
646
1,266
9.57
3
7-12
1,154
1,178
2,332
17.36
4
13- 15
1,306
1,317
2,623
19.53
5
16 - 18
1,293
1,238
2,531
18.85
6
> 19
1,962
2,001
3,963
29.51

Jumlah
6,679
6,753
13,432
100.00
B
Usia Kerja




1
0-9
1,321
1,331
2,652
19.74
2
10-14
1,449
1,466
2,915
21.70
3
15- 19
1,788
1,704
3,492
26.00
4
20-26
296
272
568
4.23
5
27-40
626

582
1,208
8.99
6
41 - 56
673
706
1,378
10.26
7
> 57
527
691
1,219
9.07

Jumlah
6,679
6,753
13,432
100.00
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Dari hasil bancian lokasi Perumahan kumuh di Tegalsari diperoleh data-data mengenai karakteristik rumah tangga yang disajikan dalam jadual berikut.
Jumlah rumah tangga (keluarga) di kawasan kumuh lokasi penelitian pada tahun 1994 adalah sebesar 2.895 KK, dengan distribusi sebesar 2.192 KK terdapat di Kelurahan Tegalsari I, 256 KK dibagian Kelurahan Tegalsari Mandala I dan 448 KK dibagian Kelurahan Tegalsari Mandala III. Komposisi penduduk menurut usia dan jenis kelamin. Dari data distribusi penduduk menurut kelompok usia (lihat tabel 3-2), tampak sebagian besar penduduk berusia di atas 19 tahun (29,51 %). Dari survai diperoleh perbedaan rata-rata besarnya keluarga yang berbeda dengan besarnya rata-rata keluarga perkelurahan.
Jadual 4.38: Besaran Keluarga
No
Besaran Keluarga (Orang)
Jumlah Keluarga
Proporsi (%)
Jumlah (Orang)
Keterangan
1
<3
684
23.63
1.642

2
4
798
27.56
3.192

3
5
618
21.35
3.090

4
6
359
12.40
2.154

5
7
262
9.05
1.834

6
8
82
2.83
656

7
9
60
2.07
540

8
>10
32
1.11
325



2.895
100.00
13.432










Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Pada dasarnya jenis keluarga adalah keluarga batih (Nuclear Family). Majoriti pendidikan Kepala Keluarga adalah Sekolah Dasar dengan komposisi sebagai berikut :

Jadual 4.39 :Pendidikan Penduduk
No
Pendidikan
Penduduk
Kepala Keluarga
Keterangan
Jumlah
(Jiwa)
(%)
Jumlah
(Jiwa)
(%)
1
Belum/Tidak Sekolah
2.241
16.68
96
3.32

2
Pendidikan Pre-School
321
2.39



3
Sekolah Dasar
5.123
38.14
1.329
45.91

4
Sekolah Menengah Pertama
2.402
17.88
622
21.49

5
Sekolah Menengah Atas
2.698
20.09
678
23.42

6
Perguruan Tinggi
363
2.70
170
5.87

7
Training dll
284
2.11




Jumlah
13.432
100.00
2.895
100.00

Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Kelompok umur kepala keluarga, berada diantara 30-45 tahun dengan komposisi sebagai berikut :

Jadual 4.40: Komposisi Umur Kepala Keluarga.
No
Rentang Umur Kepala Keluarga
Jumlah
(Orang)
Proporsi
(%)
Keterangan
1
<24
121
4.18

2
25-35
1.368
47.25

3
36-64
1.226
42.35

4
>65
180
6.22






Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Penyakit yang timbul di kalangan keluarga intensitinya cukup tinggi, sebahagian besar diusahakan pengobatan sendiri dengan obat-obat analgesik dan pengobatan kampung. Rumah Sakit Pembantu (Puskesmas) yang ada di kawasan purata perbulan melayani penduduk sebanyak 28 orang, sedang data yang berobat kerumah sakit umum tidak dapat diperoleh.
Pengeluaran tetap keluarga untuk perubatan berkisar antara Rp. 5.000/bulan. Tetapi kalau penyakit merebak sedang berjangkit pengunjung Rumah Sakit Pembantu ini dapat meningkat. Tanpa dapat diramal, seperti yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Jika ditinjau dari tingkat kecamatan, kecamatan Medan Area dimana kelurahan ini terletak mempunyai tingkat pesakit yang paling tinggi dari seluruh kecamatan di Kota Medan.



4.5.2.10.Sikap Masyarakat terhadap Perubahan

Beberapa sikap masyarakat (100 responden dengan status kepala keluarga) yang diperkirakan mempengaruhi sistem dan metode peremajaan yang akan dilakukan disajikan pada bahagian ini. Dari penelitian di lapangan diperoleh sejumlah generalisasi yang dapat diidentifikasikan, antara lain:
1. Sebahagian besar mereka yang masuk dalam kategori penyewa/kontrak rumah cenderung bersikap apatis terhadap perubahan. Mereka tidak peduli apakah petempatan mereka akan dibaik pulih ataupun dibiarkan begitu saja.
2. Lingkungan mereka yang tidak termasuk dalam kategori lingkungan kumuh. Keadaan ini secara umum telah membentuk sikap positif terha­dap perumahan. Mereka pada umumnya setuju terhadap perbaikan lingkungan yang akan dilakukan. Pada jadual di bawah ini, disajikan pendapat responden terhadap perbaikan lingkungan yang diusulkan dan tanggapan mereka terhadap pembangunan rumah susun, rumah toko, apartemen dan rumah biasa.

Jadual 4.41: Sikap Terhadap Perubahan
No
Sikap


Perbaikan Rumah
Preferensi Hunian
Sendiri
Banrtuan Pemerintah
Rumah Susun
Rumah Toko
Apartemen

Rumah Biasa
1
Sangat Setuju
3.00
26.00
1.00
2.50
3.50
41.50
2
Setuju
42.00
35.00
8.50
29.00
6.5O
51.00
3
Kurang Setuju
29-00
9.00
12.50
14.00
10.00
1.00
4
Tidak Setuju
23-50
23.00
43.50
37.50
52.00
5.00
5
Sangat Tidak Setuju
2.50
7.00
34.50
17.00
28.00
1.50

Jumlah
100.00
100.00
100.00
100.0
100.00
100.00
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Dari jaduall di atas dapat disimpulkan, bahawa sebahagian besar masyarakat menginginkan perubahan lingkungan terlebih lagi bila perbaikan tersebut mendapat bantuan dari pemerintah. Sedangkan dari tanggapan terhadap beberapa kemungkinan bentuk perumahan, dapat dilihat adanya indikasi, bahawa masyarakat masih enggan untuk tinggal pada bangunan bertingkat. Ini berati masih bisa dan diperlukan intervensi sosial dan pengujian dengan model untuk memperoleh hasil yang optimal. Dimana untuk memperbaiki lingkungan dengan subsidi silang harus tersedia lahan cadangan yang memiliki nilai ekonomi yang mengarah kepada bentuk bangunan vertikal dengan tingkat human dengan kepadatan tinggi. Perkhidmatan yang sering digunakan ketika mereka memerlukankan dana, dapat dilihat pada komposisi berikut:

Jadual 4.42: Sumber Pengadaan Dana Pinjaman

No.
Surnber Pengadaan Dana
Persent ase
1
Perbankan
23,00
2.
Perbankan
23,00
3.
Pegadai an
2,00
4.
Koperasi
9,00
5
Keluarga
42.50
6.
Kawan Dekat
8,00
7.
Lain-lain
15,50
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan
Tanggapan terhadap cara pembayaran kepemilikan rumah yang ditawarkan, disajikan sebagai berikut :

Jaduall 4.43: Cara Pembayaran Kepemilikan Rumah
No.
Pembayaran Perumahan
Persentase
1
Meencicil
50,0
2.
Membayar kontan
4,5
3.
Lai n-1 ai n
3,5
4.
Tidak berpendapat
42,0
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Jadual 4.44: Sikap Infrastruktur dan Fasilitas (%)
No
Sikap
Air Bersih (PDAM)
Pembuangan
Sampah Kolektif
Taman
Olah Raga
Lembaga Keuangan
1
Sangat Setuju
22.50
13.00
7.50
22.00
13.00
2
Setuju
64.50
62.50
61.50
72.00
73.50
3
Kurang Setuju
11.00
18.50
8.50
3.00
8.00
4
Tidak Setuju
2.00
5.50
5.00
3.00
4.50
5
Sangat Tidak Setuju
0.00
0.50
0.50
0.00
1.00

Jumlah
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Sedangkan sikap masyarakat terhadap kemudahan perbelanjaan yang ditawarkan dapat dilihat sebagai berikut :

Jadual 4.45: Sikap Terhadap Kemudahan Perbelanjaan
No.
Pembayaran Perumahan
Persent ase (%)
1
Pasar Tradisional
50,0
2
Pasar Swalayan
35,5
3
Pedagang Kel i 1 ing
1,0

Lai n-1 ai n
4,5
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Medan

Mengenai pencahayaan waktu malam hampir sebahagian besar penduduk menginginkan kapasiti elektrikk di atas 450 watt. Dalam hal ini, ada hubungan dengan penggunaan rumah sebagai tempat usaha seperti dil ihat pada jaduall berikut:

Jadual 4.46: Kapasiti Pencahayaan yang Diinginkan
No.
Pembayaran Perumahan
Persentase (%)

Kapasitas daya listrik yang diinginkan :

1 .
Kurang dari 450 watt
10,5
2.
450 watt
55,0
3.
900 watt
31 ,0
4.
Lebih dari 900 watt
3,5
Sumber : Loebis. M.N (1995).Pemantapan Perangkat Pelaksanaan Peremajaan di Tegalsari-Mandala, Komadya Med



4.5.3. Kawasan Kumuh Kampung Baru

Jadual 4.47: Tanggapan atas Pendapatan di Kampung Baru
No
Tanggapan atas Pendapatan Keluarga (%)
Pendapatan keluarga Responden (Rp)
Total (%)
≤100.000
100.001-300.000
300.001-500.000
500.001-700.000
≥700.001
1
Terpenuhi semua Kebutuhan
-
-
-
-
-
-
2
Terpenuhi



4,88
43,90
48,78
3
Kurang Terpenuhi


9,76
21,95
4,88
36,58
4
Tidak Terpenuhi

2,44
2,44
4,88

9,76
5
Tidak Terpenuhi Samasekali

2,44
2,44


4,88

Total





100,00
Sumber: Wan Zulkarnain 2004.

Jadual 4.48: Pendapatan dan Alasan Memilih Petempatan Kumuh
No
Alasan Memilih Lingk Kumuh(%)
Pendapatan keluarga Responden (Rp)
Total (%)
≤100.000
100.001-300.000
300.001-500.000
500.001-700.000
≥700.001
1
Lebih Murah

2,44

2,44
24,39
29,27
2
Dekat Kerja


2,44
2,44
7,32
12,20
3
Diajak Teman


2,44
4,88
7,32
14,63
4
Tidak ada Pilihan


7,32
2,44
9,76
19,51
5
Lain-lain

2,44
2,44
19,51
-
24,39

Total
-
4,88
14,63
31,71
48,78
100,00
Sumber: Wan Zulkarnain 2004.




Jadual 4.49: Luas Rumah di Perumahan Kumuh Kampung
No
Luas Rumah (m2)
Jumlah
Persentase (%)
1
≤10
-
-
2
11-20
2
4,88
3
21-30
7
17,07
4
31-40
12
29,27
5
≥41
20
48,78

Total
41
100,00


Jadual 4.50: Pendapatan dan Alasan Memilih Pindah dari Pemukiman
Kumuh

No
Alasan Memilih Lingk Kumuh (%)
Pendapatan keluarga Responden (Rp)
Total (%)
≤100.000
100.001-300.000
300.001-500.000
500.001-700.000
≥700.001
1
Sangat Ingin






2
Ingin


7,32
19,51
43,90
70,74
3
Kurang Ingin

2,44
4,88
4,88
2,44
14,63
4
Tidak Ingin

2,44
2,44
7,32
2,44
14,63
5
Lain-lain




-


Total
-
4,88
14,63
31,71
48,78
100,00
Sumber: Wan Zulkarnain 2004.


4.5.4.Perumahan PERUMNAS Simalingkar
4.5.4.1. Latar Penduduk
Dibangun pada tahun 1981 pada kecamatan Medan Tuntungan di kelurahan Mangga dan desa Simalingkar. Pada tahun 2006, perumahan terdiri dari 7.000 unit di atas tanah seluas kurang lebih 286 hektar. dihuni oleh keluarga yang relatif muda, kerana persentasi penduduk yang berumur diatas 50 tahun hanya 14.73 %. Penduduk yang berusia kerja (20-50 tahun) adalah sebesar 38.85 % sedang bakinya adalah penduduk dalam usia sekolah sedang yang menjadi kepala keluarga hanya 20.50 % sehingga ‘dependent household’ member cukup besar. Penduduk yang berpendidikan sarjana terdapat sebesar 2.71 % sedang yang berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebesar 11.99 %, Sekolah Menengah Pertama sebesar 27.29 % dan Sekolah Dasar 35.98 %. Mata Pencaharian umumnya adalah Buruh/Swasta (30.00 %), Pegawai Kerajaan (24.86 % ), Pemandu (9.13 %) dan Pedagang Kecil (10,52 %). Agama penduduk didominasi agama Kristien (54.49 %) disusul oleh Islam (47,70 %). Asal Etnik didominasi oleh Karo (22,38 %) disusuli Toba (15,47 %), dan Tapanuli Selatan (12.25 %). Sedang Jawa hanya (3.49 %) dan Melayu (2.14 %). Banci resident satisfaction telah dilakukan oleh Suhadianto (2005), terhadap penduduk dengan latar belakang sebagai berikut, Pekerjaan Buruh/Swasta (45 %), Pegawai Kerajaani (33 %) dan Pedagang Kecil yang berusaha sendiri (15 %). Pendapatan Household berkisar diantara Rp 500.000-1.000.000 (23 %), diantara Rp 1.000.001-1.500.000 (62 %) dan diatas Rp 1.500.000 (15%). Majoriti responden beragama Islam (68 %) sedang bakinya adalah yang beragama Kristen (25%). Besaran keluarga (Household Size) dari responden terdapat antara 3 (24 %), 4 (35%), 5(20%) dan 6(12%). Status penghuni sebahagian besar adalah pemilik penghuni (Owner Occupier (75%) Penyewa (10%) dan menumpang tanpa bayar (8%). Kebanyakan penghuni sudah menempati rumah lebih dari 10 tahun (59 %), yang sudah tinggal antara 6-10 tahun (12 %) dan antara 1-5 tahun (18%). Banyak sekali unit rumah yang sudah dibaiki untuk menyesuaikan dengan keperluan penduduk, sebahagian diantaranya telah diubah menjadi fungsi lain. Keadaan ini juga menunjukkan bahawa kemampuan mereka cukup tinggi, atau dapat disimpulkan penduduk yang tinggal dikawasan ini bukan penduduk miskin dalam kategori 20 % penduduk miskin di kota Medan.


Gambar 4.11: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi Tempat Usaha




Gambar 4.12: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi rumah Mewah
Gambar 4.13: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi Bertingkat


Gambar 4.14: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar
Gambar 4.15: Rumah Asli di PERUMNAS Simalingkar
Gambar 4.16: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar

Gambar 4.17: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar

Gambar 4.18: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar


Gambar 4.19: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi Rumah Mewah

Gambar 4.20: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar Rumah Toko

Gambar 4.21: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar

Gambar 4.22: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi Rumah Tinggal dan Tempat Usaha
Gambar 4.23: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi Rumah Mewah

Gambar 4.24: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi Rumah Toko (Ruko)

Gambar 4.25: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar menjadi Tempat Usaha


Gambar 4.26: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar. Kopel Menyulitkan Perubahan

Gambar 4.27: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar

Gambar 4.28: Rumah yang masih Asli di PERUMNAS Simalingkar

Gambar 4.29: Perubahan Rumah di PERUMNAS Simalingkar











4.5.4 .2.Perubahan Fizikal Rumah
Di bawah ini diberikan alasan beserta parameter yang umum digunakan oleh penduduk dalam mengubah fisik unit hunian di Perumahan PERUMNAS Simalingkar
Tabel 4.51: Parameter yang digunakan dalam Mengubah Fizikal Rumah
No
Perubahan Fisik Rumah/Penyebabnya
Persentasi (%)

Perubahan Fisik Rumah

1
Merubah Rumah Secara Fizikal
84
2
Tetap Seperti Rumah awal
9
3
Tidak Diperoleh Data Merubah atau Tidak
7

Arah perubahan Fizikal Rumah

4
Perubahan Secara Horizontal
79
5
Perubahan Secara Vertikal
10
6
Perubahan Secara Vertikal dan Horizontal
11

Sistem Yang Digunakan Dalam Melakukan Perubahan

7
Melibatkan Tenaga Profesional Dalam Perubahan
80
8
Dilakukan Sendiri dengan Keluarga atau tukang Amatir
20

Alasan Perubahan Fisik rumah

9
Perubahan Rumah Karena Pertambahan Anggota Keluarga
65
10
Perubahan Rumah Karena Perbaikan Ekonomi Keluarga
25
11
Perubahan Rumah Karena Membuka Tempat Usaha
10
Sumber:Suhadianto 2006

Jadual. 4.52: Dimensi Perubahan
No
Tipe Asli
Luas Lantai /Tanah (m2)
Tipe Akhir
Persentasi (%)
Tambahan
Luas Lantai (%)
Arah Pengembangan
1
36/96
60/96
35
67
Horizontal
2
45/120
90/120
35
100
Horizontal
3
54/153
100/153
30
85
Horizontal


Penduduk yang beringinan untuk pindah dari PERUMNAS Simalingkar hanya 15 % dari responden sedang bakinya sebesar 85 % tidak berkeinginan untuk pindah. Hanya tidak diteliti apakah yang berkeinginan untuk pindah tersebut pemilik atau penyewa. Kerana pemilik penghuni hanya meliputi 75 % dari responden. Kemungkinan besar tingkat resident satisfaction penghuni meningkat karena 84 % rumah sudah diubah.

4.5.5.Kampung Nelayan

4.5.5.1.Gambaran Umum Perkampungan Nelayan

Pedesaan nelayan dengan mudah dapat dijumpai di daerah-daerah atau kawasan yang berdekatan dengan laut dan di tepi muara sungai. Kawasan petempatan yang topografinya landai dengan struktur tanah yang dominan berpasir serta memiliki tingkat keasidan yang relatif tinggi itu, dipilih menjadi tempat tinggal, kerana sebahagian besar mereka yang hidup di daerah ini tidak bergantung dari usaha tani. Pedesaan Nelayan mudah dikenali dengan memperhatikan keadaan fizikal dari pedesaan. Bangunan perumahan yang sangat khas berbentuk seni bina rumah panggung dan letaknya yang terperosok ke tepi pantai adalah ciri utama yang paling umum dapat dijumpai. Bentuk fisik bangunannya terdiri dari tiang-tiang kayu dengan dinding papan atau kombinasi tepas dan beratap daun nipah. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain tidak begitu berjauhan. Biasanya, rumah-rumah itu dihubungkan dengan jalan setapak yang cukup sering dalam keadaan becek dan berlumpur, karena terendam air sepanjang waktu. Air itu adalah air laut yang meluap pada saat pasang besar dan tidak bisa dikeringkan kerana struktur tanahnya yang kedap air. Daerah seperti ini jarang memiliki sistem pembuangan air yang memadai. Jika matahari terik siang hari, aroma udara menjadi pengap dan kurang segar bercampur bau amis yang bersumber dari jaring ikan yang dijemur di emperan atau halaman rumah. Tidak jarang masih ada baki ikan menempel pada jaring yang luput dibersihkan. kesan kotor, kumuh dan lingkungan yang kurang sihat segera muncul. Pada bahagian belakang rumah dan sekitar tepian paya, akan dijumpai sederetan gubuk-gubuk kecil yang berfungsi sebagai tempat mandi atau tempat buang air besar. Gubuk-gubuk itu dibuat dari potongan kayu atau buluh kemudian diberi dinding plastik, guni dan anyaman daun nipah. Gunanya untuk sekadar melindungi mereka dari penglihatan orang seketika sedang mandi atau buang air besar. Letaknya yang sangat dekat dengan laut menyebabkan daerah ini begitu rawan dan terkena terkena limpahan air laut jika sedang terjadi pasang besar. Disebabkan ketiadaan sistem pembuangan yag baik, air itu kemudian menggenang membentuk kolam-kolam kecil yang kotor, bau dan biasanya akan menjadi tempat berkembang segala jenis serangga. Genangan-genangan air ini sulit kering atau meresap ke dalam tanah karena kekedapan air di daerah seperti ini relatif tinggi.
Penyakit malaria, cirit-birit, radang pernapasan, demam dan berbagai jenis penyakit lain yang umumnya bersumber dari lingkungan kotor menjadi wabak yang paling sering melanda masyarakat di tempat ini, terutama anak-anak. Pemandangan lain yang begitu khas di daerah ini adalah sejumlah kedai kopi dan warung-warung yang selalu penuh dikunjungi oleh golongan lelaki, terutama pada siang hari. Mereka duduk sambil membincangkan apa saja yang berkaitan sepanjang siang. Pada waktu itu mereka turun ke laut. Memang, kurang lazim dan agak jarang ditemui ada nelayan yang turun ke laut pada siang hari[40].

4.5.5.2.Keadaan Nelayan Sebelum Resettlement

Sekelompok Nelayan terusir akibat perbaikan sungai Deli (Deli River Improvemment) pada tahun 1989. Bentuk fizikal rumah nelayan tersebut sebahagian adalah panggung dengan ketingggian 0,6 – 1 m di atas permukaan tanah dan sebahagian lagi langsung di atas tanah. Sebagian dari mereka sudah memiliki rumah sendiri, ada yang menyewa dan ada yang menumpang kepada keluarganya tanpa membayar dengan perincian sebagai berikut:
Jadual 4.53: Status dan Bentuk Rumah
No
Status
Rumah Panggung
Langsung Ditanah
Rumah
Darurat (%)
Total
(%)
½ Permanen (%)
Kayu (%)
½ permanen (%)
Kayu (%)
1
2
3
Sewa
Milik sendiri
Menumpang
11,6
18,6
4,7
25,6
25,6
-
2,3
-
-
-
4,7
-
-
6,9
-
39,5
55,8
4,7
Total
34,9
51,2
2,3
4,7
6,9
100
Sumber: Data Primer yang diolah dalam Loebis, M.N (1991)

Majoriti bilangan keluarga adalah antara 3 - 5 orang (51.10 %), yang lebih kecil dari 2 orang sebesar 26.70 % dan bilangan keluarga yang lebih besar dari 7 orang sebesar 22.20 %.
Jadual 4.54: Keadaan Sanitasi
No
Uraian
Sumur
Kamar Mandi
Umum
Sungai
Total
Sumur-sumur bor
DAM
1
2
3
Tempat tinggal
Tempat cuci
Paturasan
39,3%
41,1%
17,9%
1,8%
1,8%
3,8%
1,8%
3,5%
55,4%
55,3%
78,6%
100%
100%
100%
Sumber: Data Primer yang diolah Sumber: Data Primer yang diolah dalam Loebis, M.N (1991)

Sedangkan untuk air minum diperolehi dari pengusaha pompa air milik swasta (85,7 %) dan yang ke dua dari pompa milik PDAM (12,5%) yang pengoperasiannya diserahkan kepada swasta dengan menggunakan perigi Bor sedang bakinya (1.8%) menggunakan sungai sebagai sumber air bersih dan air minum. Seperti sukarnya air bersih, tenaga elektrik pun merupakan kelengkapan hidup mewah bagi nelayan. Rumah mereka, biasanya diterangi oleh lampu minyak tanah. Kecuali warung, kedai kopi atau tempat-tempat ibadah, yang kadangkala kelihatan lebih terang kerana menggunakan petromak. Peralatan elektronik seperti radio, tape recorder dan televisyen umumnya mengunakan tenaga daripada bateri kereta. Sarana kesihatan di pedesaan nelayan sangat kurang. Penduduk yang sakit mendapatkan rawatan ke ibu kota kecamatan atau keluar dari daerah mereka. Namun, yang paling sering adalah berobat kepada mantri keliling atau berobat secara tradisional kepada dukun dan pawang yang telah wujud sejak turun temurun.

4.5.5.3.Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita penduduk nelayan adalah Rp. 280.835/Tahun jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita Kotamadya Medan sebesar Rp. 706.607/Tahun, maka pendapatan perkapita para nelayan masih sangat rendah. Menurut ukuran garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Sayogyo pada saat itu, iaitu penduduk yang mempunyai pendapatan setara beras 320 kg untuk pedesaan dan 480 kg untuk perkotaan atau setara dengan Rp. 312.000 kapita/tahun. Dengan demikian penduduk nelayan berada di bawah garis kemiskinan. Peralatan dan pengetahuan yang digunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan pada dasarnya masih sangat sederhana (kecuali perahunya sudah menggunakan motor), sehingga ketergantungan mereka terhadap alam sangat tinggi. Hal ini sangat menentukan tingkat penghasilan mereka. Secara teroritis mereka membahagi tahun kalender menjadi 3 tahap bulanan, didasarkan pada kondisi alam, baik cuaca dan keadaan laut maupun jumlah ikan yang dapat ditangkap di laut lepas sesuai dengan siklus/pusingan ikan dan migrasi dari ikan-ikan tersebut. Pembahagian pertama Januari–April, keadaan laut, angin, dan lain-lain baik dan ikan banyak laut. Saat ini seperti ini nelayan dapat menangkap ikan dalam jumlah banyak dengan mudah. Mereka dapat melaut 25 hari dalam sebulan dan penghasilannya dapat mencapai Rp. 10.000,- per hari/orang. Kedua, April–Juli, Meskipun keadaan alam tetap baik, tetapi ikan tidak banyak, masih memungkinkan pergi ke laut 25 hari dalam satu bulan tetapi hasilnya tidak begitu banyak. Penghasilan hanya mencapai Rp. 3.000,- per hari/orang. Ketiga, Juli-Oktober, keadaan alam buruk, ikan kurang sehingga betul-betul masa sangat mencemaskan/paceklik dan krisis. Penghasilan tidak lebih dari Rp. 1.000,- per hari/orang, kadang-kadang tidak berhasil sama sekali hanya dapat ke laut 5 - 6 hari dalam sebulan. Yang keempat, Oktober-Januari, dalam 3 bulan ini kondisi alam mulai membaik, sehingga dapat ke laut sekitar 10 hari dalam sebulan. Ikan ada tetapi sukar ditangkap. Penghasilan sekitar Rp. 2.000,- per hari / orang.

Gambar 4.30: Kondisi Lingkungan di Perumahan Nelayan di daerah Belawan sebelum Resettlement


Gambar 4.31: Persekitaran di Perumahan Nelayan di daerah Belawan sebelum Resettlement


Gambar 4.32: Sanitasi Perumahan Nelayan di daerah Belawan sebelum Resettlement






4.5.5.4.Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat nelayan relatif rendah karena kemudahan pendidikan yang terbatas biasanya hanya tingkat Sekolah Dasar (rendah)/Madrasah Ibtidaiyah. Itupun keadaannya banyak yang sudah memprihatinkan. Akibat tekanan ekonomi yang cukup berat, banyak di antara anak usia sekolah yang terpaksa berhenti di tengah jalan (drop out) bahkan tidak sekolah kerana ikut bekerja demi menambah penghasilan keluarga turut membantu orang tua di laut, menjadi buruh di jermal atau di tempat penjualan ikan (TPI) nataupun menjadi buruh pembersih/pencuci sampan.
Tingkat pengetahuan yang rendah dan mutu pemberitaan media massa yang rendah menyebabkan majalah, TV atau radio diapresiasi sebagai sarana hiburan. Penghasilan perkapita yang relatif rendah memberikan dampak terhadap tingkat pendidikan masyarakat di desa nelayan. Umumnya para nelayan beranggapan jika anak-anak mereka sudah pandai tulis baca sudah mencukupi, sedangkan pendidikan lanjut tidak dipentingkan. Pendidikan formal masyarakat umumnya hanya sampai Sekolah Dasar (33.7 %) dan hanya sebahagian kecil yang melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk lebih mengetahui keadaan tingkat pendidikan di desa nelayan dapat di lihat pada jadual berikut.
Jadual 4.55: Pendidikan Nelayan
No
Pendidikan
Persentasi (%)
1
Butahuruf (Illiterate)
2.50
2
Dapat Baca-Tulis
40,50
3
Tamat Sekolah Dasar
33,70
4
Taman Sekolah Lanjutan Pertama.
5,50
5
Tamat Sekolah Lanjutan Atas.
1,20
6
Masih Sekolah
16,60

Total
100,00
Sumber: Data Primer yang diolah.



4.5.5.5.Preferensi Kelompok Nelayan Target

Harapan kaum nelayan pada dasarnya terdiri dari tiga hal iaitu: yang pertama adalah peningkatan dibidang ekonomi. Sehingga dapat mencapai sasaran akhir iatu self sustain iaitu tanpa bantuan dan ketergantungan dari pihak lain termasuk ketergantungan pada tengkulak. Mereka menginginkan peningkatan kemampuan ekonomi, mencerminkan hasrat untuk memperluas cakupan bidang usaha dengan memanfaatkan institusi yang tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Terutama usaha-usaha penunjang pendapatan mereka saat tidak melaut, seperti usaha ambak dan usaha tanaman perkarangan. Untuk ibu-ibu diharapkan adanya usaha rumah tangga lainnya seperti kerajinan tangan dan sebagainya. Mereka juga mengharapkan tersedianya kemudahan perkhidmatan misalnya kemudahan kesihatan, pendidikan, agama, pasar, jalan dan sarana lain.

4.5.5.6.Keadaan Umum Masyarakat
Kelompok masyarakat yang menetap di pedesaan nelayan ini sebahagian besar adalah suku Melayu dengan mata pencaharian utama mereka sebagai nelayan. Terdapat juga suku-suku lain seperti suku Batak, Karo, Jawa, Mandailing bahkan Cina, akan tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Mereka menjadi bahagian dari masyarakat di pedesaan itu bukan berprofesi sebagai nelayan, akan tetapi hidup sebagai pedagang, petani, pesara kerajaan atau Guru pada sekolah-sekolah yang terdapat di desa itu.





4.5.5.6.Keseimbangan Ekologi yang Terganggu

Nelayan adalah orang yang menggantungkan nasibnya secara penuh dari kemurahan laut. Ada kaitan yang begitu erat antara tingkat kehidupan nelayan dengan kondisi ekosistem laut yang menjadi tempat mata pencaharian mereka. Dari keseluruhan ekosistem laut, ekosistem mangrove (paya bakau) merupakan wilayah yang terpenting. Ekosistem mangrove merupakan zon persempadanan antara komponen laut dan komponen darat. Daerah ini mempunyai sumbangan yang cukup besar terhadap pertumbuhan haiwan dan tumbuhan yang ada di laut. Kawasan ini, secara ekologi dan biologi ternyata sangat baik untuk pengembang biakan udang. Sebab, selain mampu menjadi penyedia bahan makan alam, tingkat keasidan serta suhu udaranya dapat diatur. Itu sebabnya, sejak penemuan kelayakan daerah ini sebagai tempat pembiakan udang, para pelabur pada awal tahun 80-an beramai-ramai menyerbu daerah ini untuk mengembangkan pembiakan udang. Tambahan pula komoditi ini sangat cerah pasarnya. Bahkan sempat menjadi primadona ekspor non migas.
Hutan mangrove (paya bakau) dieksploitasi secara besar-besaran. Keadaan masyarakat nelayan yang sudah cukup memprihatinkan itu, semakin diperburuk lagi oleh timbulnya dampak kerosakan hutan mangrove akibat pengembangan usaha penternakan udang. Mereka, dalam rangka mengembangkan perniagaan, telah mengeksploitasi hutan mangrove secara berlebihan untuk tempat pe3mbiakan udang. Bahkan, di sepanjang pantai Timur Sumatera, hutan mangrove sudah ditebang habis secara keseluruhannya. Meskipun, ada peraturan kerajaan yang menetapkan bahawa sekurang-kurangnya 50 meter dari kawasan pantai hutan mangrove harus ditinggalkankan bakinya sebagai penghadang/sabuk pengaman (greenbelt) ternyata peraturan tersebut itu dilanggar.
Dampak hancurnya hutan mangrove ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap keadaan fizikal pantai, melainkan juga telah berpengaruh sangat besar kepada keseimbangan ekologi. Sebagaimana diketahui bahawa hutan mangrove merupakan suatu subsistem yang memiliki tingkat produktiviti bahan pelapukan dan organik mati yang sangat tinggi (hasil penelitian para ahli di Amerika Syarikat menyimpulkan bahwa, hutan mangrove mampu menghasilkan 90 % bahan organik mati yang ada di laut dan 35 – 36 % diantaranya menjadi unsur hara yang terlarut di perairan pantai). Bahan pelapukan dan organik mati tersebut ternyata merupakan sumber makanan yang sangat baik dan penting bagi hidupan air seperti: udang, ketam, zooplankton dan invertabrata kecil lainnya. Selanjutnya, haiwan pemakan bahan pelapukan dan bahan organik mati ini kemudian menjadi bahan makanan pula bagi haiwan pemakan daging, termasuk ikan dan udang.
Selain itu, hutan mangrove (paya bakau) juga berfungsi sebagai tempat pembiakan (nursery ground) berbagai jenis hidupan laut seperti ikan, udang, ketam dan sebagainya. Secara ekologi, hutan mangrove (paya bakau) juga berfungsi bumper penahan angin dan akisan ombak yang mengancam pesisir pantai. Dengan fungsi yang sedemikian penting bagi perikanan, dapat di fahami apabila pelestarian daya dukung hutan mangrove memiliki erti yang sangat vital bagi para nelayan, terutama nelayan tradisional. Disebabkan keterbatasan teknologi alat tangkapnya menyebabkan daya mereka hanya dapat mencari nafkah di perairan sekitar pantai. Kerosakakan hutan paya bakau mengakibatkan produktiviti bahan pelapukan di perairan pantai menjadi lkurang, yang bererti bahan makanan hidupan laut di kawasan itu menjadi kurang pula. Kerosakan hutan paya bakau akibat intensifikasi dan ekstensifikasi pertambakan udang, telah memberi kesan yang sangat besar terhadap berkurangnya, bahkan menghilangnya mata pencaharian nelayan tradisional.


4.5.5.8.Tujuan Pembuatan Petempatan Nelayan

Projek perumahan dan petempatan nelayan ini dibangun dengan tujuan:
i) Membasmi kemiskinan dengan memberi pilihan seluas-luasnya kepada para nelayan di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan yang tingkat pendapatannya paling rendah. Selain itu, juga kepada nelayan yang belum memiliki rumah dan sampai saat ini masih menyewa, terutama mereka yang tinggal di kawasan pemukiman kumuh dan daerah jalur hijau.
ii) Menghilangkan lokasi kumuh dan menatanya kembali sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Penataan ini tidak hanya disesuaikan dengan kehidupan nelayan saja, melainkan dapat pula dikembangkan sebagai objek pelancongan. Seterusnya, jika ditata dengan baik, akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat lingkungan pemukiman ini.
Tujuan Jangka Panjang dari pemukiman nelayan ini dijelaskan oleh pemerintah kota Medan sebagai berikut;
i) Menghilangkan kecemburuan sosial; dengan meletakkan komplek
ii) petempatan nelayan ini di antara dua kawasan Industri diharapkan dapat mencegah timbulnya kecemburuan dan kesenjangan social. Walaupun kawasan industri dibangun, akan tetapi tidak melupakan kepentingan masyarakat yang telah lama berdiam di sekitar kawasan itu. Malah, suatu ketika diharapkan dengan adanya ketrampilan teknik yang dimiliki warga masyarakat nelayan,mereka pun dapat bekerja di kawasan industri itu. Sehingga secara sosiologi masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan tersebut tidak merasa dipencilkan.
iii) Memperluas pola dan cakrawala berfikir. Proses interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung akan terjadi antara warga masyarakat di perkampungan nelayan dengan para buruh kilang/industri dalam kehidupan sehari-hari. Pada gilirannya akan dapat menambah wawasan baru bagi masyarakat, bahawa sesungguhnya dalam hidup ini tersedia banyak pilihan untuk dikerjakan. Oleh sebab itu, dalam hal mencari nafkah tidak pula harus harus bergantung hanya menjadi nelayan secara turun temurun.
iii) Akan terbentuk disiplin dan sikap menghargai waktu.
Pengelolaan suatu kawasan industri memerlukan adanya
disiplin yang tinggi, penghargaan terhadap waktu dan efisiensi dalam segala hal. Sikap mental yang seperti ini diharapkan akan dapat dicontohi oleh para nelayan dan keluarganya. Berdasarkan hubungan kemasyarakatan yang akan terjalin di lingkungan industri di sekitarnya.






4.5.5.9.Letak Lokasi Resettlemen Perumahan Nelayan
Lokasi projek perumahan nelayan ini terletak di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Labuhan yang bertetangga dengan Kecamatan Marelan dan Kecamatan Medan Belawan. Secara strategik, peletakan lokasi perumahan ini sengaja ditempatkan sama di antara 2 (dua) kawasan industri. Pemilihan lokasi ini mengandung maksud yang sangat strategi pula dimana dengan keberadaan yang sedemikian ini diharapkan kelak akan melahirkan sejumlah faktor yang dapat mendorong proses transformasi struktur masyarakat yang masih tradisional ke struktur masyarakat moden. Luas kawasannya mencapai 80 Ha. Dimana kawasan yang diperuntukkan bagi penetapan lokasi Perumahan Nelayan Indah ini, merupakan tapak bekas Hak Guna Usaha milik PT. Paluhan Seruwai. Tanah tersebut sudah habis masa penggunaanya dan kerajaan tidak bersedia memperpanjang lagi. Berdasarkan kebijaksanaan Pemda Sumut yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara No. 593.61/086/K/1993 tanggal 5 Februari 1993, tanah bekas HGU PT. Paluhan Seruwai ini telah diserahkan kepada Pemda Medan seluas 180 Ha, yang kemudian menjadi lokasi projek ini.



4.5.5.10.Pola Penanganan
Pemda Medan melakukan penanganan dengan memanfaatkan potensi lokal yang tersedia. Mengingat bahawa persoalan pengyediaan rumah bagi masyarakat miskin, terutama para nelayan ini bukanlah persoalan yang mudah, maka untuk mewujudkannya dilakukan dengan melibatkan sebanyak mungkin potensi masyarakat seperti pemerintah daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan lain. Swadaya dan gotong royong masyarakat serta kerjasama berbagai pihak dalam pembangunan perumahan ini perlu modal untuk menciptakan kemandirian serta rasa kesetiakawanan sosial di antara mereka. Ini yang secara mendasar membezakan proyek perumahan ini dengan model Perumnas.

4.5.5.11.Rencana Fizikal
Rencana pembangunan perumahan nelayan di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Labuhan ini meliputi rumah jenis 21/171 M2 (harga Rp. 4.600.000) sebanyak 708 unit, jenis 27/171 M2 (Harga Rp. 3.840.000) sebanyak 924 unit dan jenis 36/171 M2 (Harga Rp. 6.200.000) sebanyak 412 unit, dapat dicicil melalui melalui kredit KPR-BNI dengan cicilan mulai dari Rp. 29.370/bln atau Rp. 980/hari sampai Rp. 96.730/bln atau Rp. 3.223 /hari dalam jangka waktu 5-10 tahun. Dengan wang pendahuluan sebesar Rp. 200.000-400.000 dan bantuan Pemerintah kota Medan sebesar Rp. 1.400.000 setiap unit. Ketiga jenis rumah tersebut dilengkapi dengan air yang disalurkan masing-masing rumah dengan sistem langganan dari perusahaan daerah air minum (PDAM Tirtanadi), penerimaan tenaga elektrik berkekuatan 450 VA dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), bilik mandi dan tandas lengkap dengan septictank, Sertifikat Hak Guna Bangunan.
Komplek perumahan nelayan ini juga akan dilengkapi dengan beberapa sarana dan prasarana, seperti: rumah kedai, Mesjid, madrasah Ibtidaiyah swasta, sekolah dasar dan sekolah lanjutan, puskesmas pembantu, rumah tentara, sekolah lanjutan tingkat pertama, pejabat kelurahan, pasar, pawagam, lapangan olahraga, kemudahan rekreasi, kawasan kuburan, dermaga tempat penjualan ikan, kawsan sekolah maritim, pengaspalan jalan masuk sepanjang 3 Km, pembuatan jembatan 3 buah untuk lintasan kanal yang memotong jalan guna meningkatkan pelancongan air dan balai penerangan kampung nelayan

4.5.5.12.Realisasi Pembangunan
Pembangunan rumah; Sampai tanggal 14 September 1994, dari 2044 unit rumah yang dirancangkan, telah selesai dirampungkan secara bertahap sebanyak 910 unit, dengan perincian sebagai berikut: Type 21/171 sebanyak 465 unit, Type 27 sebanyak 310 unit dan Tipe 36 : 135 unit
Pembangunan Jembatan Pelayanan Penghubung; Fasilitas ini dibuat dari konstruksi kayu dan diperuntukkan bagi para pejalan kaki dari satu Blok ke Blok yang lain. Realisasi pembangunan sarana ini hingga kini telah diselesaikan sebanyak 31 buah dari target keseluruhannya sebanyak 54 buah. Sisanya sebanyak 23 buah kini sedang dalam proses perampungan bersamaan dengan selesainya seluruh rumah.
Pembangunan Jalan Setapak Jalan Lingkungan; Jalan setapak yang dimaksud ini adalah jalan lingkungan yang terbuat dari beton dan sekaligus berfungsi sebagai benteng apabila terjadi pasang perdani. Realisasi pembangunannya telah mencapai 22.0825 M2 dari target yang direncanakan sepanjang 47.362 M2. sisanya sepanjang 25.280 M2 tengah diselesaikan dan akan dirampungkan bersamaan dengan selesainya proyek ini.
Pembangunan Jaringan Distribusi Listrik; Sarana penerangan pada malam hari adalah listrik dari jaringan distribusi PLN.
Sebagai ralisasi dari bantuan PLN Wil. II dalam pengadaan sarana listrik ini, pihak PLN telah memasukkan jaringan distribusi sepanjang 3 km yang diambil dari jaringan listrik induk di Jl Medan-Belawan.
Pembangunan Sarana Air Bersih; Pengadaan dan pelayanan sarana air bersih untuk Kampung Nelayan ini direncanakan melalui PDAM Tirtanadi, lengkap untuk masing-masing rumah. Namun oleh sebab program pembangunan pemasangan jaringan air dan pembuatan reservoarnya baru akan dimulai pada tahun 1995 maka Pemerintah Daerah Tk. II Medan mengambil inisiatif dengan membuat beberapa buah sumur bor. Realisasi pengadaan sarana air melalui pembangunan sumur bor ini meliputi: 13 blok lengkap dengan reservoarnya sebesar 3 M2, 1 blok lengkap dengan reservoarnya sebesar 3 M3 dan airnya dikirim melalui mobil tangki air PDAM Tirtanadi sebagai sumbangan Departemen Pekerjaan Umum. 12 blok lainnya dibuatkan sumur bor dalam dengan reservoar isi 3 M3.
Pembangunan Sarana Prasarana Lain; Pada tahap ini sudah dibangun Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Dasar, Puskesmas Pembantu, Mesjid, Rumah Dinas Babinsa Koramil, Dermaga Tempat Pelelangan Ikan, akan dimulai pembangunannya dalam tahun anggaran 1995/1996 oleh Departemen Pertanian. Pengaspalan jalan dan pembuatan jembatan, realisasinya telah selesai sepanjang 3 KM dalam lingkungan Kampung Nelayan.


Gambar 4.33: Perumahan Nelayan di daerah Belawan sesudah Resettlement


Gambar 4.34: Lingkungan Perumahan Nelayan di daerah Belawan sesudah Resettlement


4.5.5.13.Partisipasi dan Pola Pendanaan
Untuk menekan harga rumah agar terjangkau oleh calon penghuni, Pemda Medan memberikan subsidi berbentuk keringanan pembiayaan prakonstruksi seperti: pekerjaan pematangan tanah, pembuatan jalan dan prasarana pendukung lainnya. Dananya dikeluarkan dari APBD dengan rincian: APBD tahun 1992/1993 Rp. 199.548.000,- dan APBD tahun 1993/1994 sebesar Rp. 482.012.000,-. Selain itu, untuk pekerjaan yang sama, Pemda Medan juga menerima sumbangan peralatan dari pihak swasta. Sumbangan tersebut akhirnya dapat menutup semua kebutuhan yang dianggarkan sesuai dengan program yang direncanakan. Seluruh bantuan yang diterima dalam bentuk peralatan dan fasilitas pendukung itu, bila dijumlah dalam bentuk uang mencapai angka Rp.456.000.000, Sementara untuk pelaksanaan pembangunan konstruksi perumahan, penyediaan sarana ibadah, dan peningkatan kesehatan serta tarap hidup masyarakat, Pemda juga banyak menerima sumbangan partisipasi dari pihak swasta dan pihak ketiga lainnya yang jika dinilai dengan uang jumlahnya mencapai Rp.1.172.000.000. Bentuk sumbangan tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut: Pematangan tanah berupa bantuan alat backhoe Rp. 456.000.000, Sumur bor lengkap dengan instalasinya sebanyak 12 buah Rp. 93.000.000, Wakaf masyarakat untuk pembangunan mesjid Rp.70.000.000, Itik beserta kandang Rp.2.000.000, Pengobatan massal oleh dokter spesialis dan untuk Sunatan massal di Perkampungan Nelayan Rp.12.000.000, Kain sarung serta peralatan sekolah bagi Anak-anak di Perkampungan Nelayan Rp. 2.000.000, Mesin jahit dari Rp. 2.500.000, Projek Pengendalian Banjir Sei Deli Rp. 400.000.000, Dana bergulir Untuk modal kerja para nelayan Rp.100.000.000, Bantuan bergulir Rp.18.500.000, Pintu-pintu air model kapal Rp.14.000.000.
Pembinaan dan penataan warga penghuni komplek ini dilakukan dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada, ditambah dukungan dan partisipasi masyarakat luas. Untuk itu, Pemda Tk. II Medan telah menggerakkan pembinaan warga nelayan melalui proyek Pengembangan Wilayah Terpadu (PWT) melalui dana Inpres tahun anggaran 93/94 sebesar Rp. 163,5 juta. Dana berikutnya adalah bantuan presiden yang disalurkan dalam bentuk: perahu bermotor sebanyak 90 buah. Diklat industri kecil pembuatan terasi dan abon, Diklat ketrampilan jahit menjahit. Kursus ketrampilan pemanfaatan pekarangan. Intensifikasi ternak itik sebanyak 11.500 ekor dan pengdaan bibit ikan. Mengingat perbandingan besar bantuan dengan jumlah keluarga nelayan yang akan menerima bantuan ini tidak seimbang, maka dilakukan pengundian. Bagi mereka yang belum mendapat kesempatan pada periode ini akan diproyeksikan pada anggaran tahun mendatang sebesar Rp. 386.144.600 sebagai upaya menyinambungkan proses di atas.

4.5.5.14.Desa Nelayan Pasca Resettlemen
Saat ini jumlah keseluruhan penduduknya sebanyak 6.066 jiwa terdiri dari 1.465 Household, sedang tempat tinggal hanya 1.420 unit, 45 household lainnya merupakan keluarga yang baru yang menumpang di rumah orang tuanya. Banyak rumah yang sudah direnovasi sehingga berubah wujud. Rumah-rumah disini memang sengaja dibuat berpanggung dengan ketinggian sekitar 1.5 meter untuk mernghindari banjir. Tapi sekarang kolong-kolongnya telah dibangun dengan bata atau keramik karena rumah tersebut tidak cukup lagi buat keluarga. Masyarakat yang menempati lokasi saat ini bukan hanya Nelayan, tetapi pegawai Negeri, guru, usahawan dan mantri (nurse) kesehatan. Banyak nelayan yang meninggalkan perumahan nelayan tersebut setelah menempatinya beberapa tahun, alasannya sangat klasik, tak cukup uang untuk membayar angsuran setiap bulannya. Meskipun hanya diwajibkan membayar angsuran Rp.100-1500 setiap hari selama 15 tahun. Antara tahun 1993-1996 semua menempati rumah panggung terbuat dari papan tersebut nelayan, tapi setelah itu nelayan mulai menjual rumah-rumah milik mereka dengan harga murah. Rumah tipe 21 seluas 8x19 dijual Rp. 2 juta, bahkan ada yang menjual Rp. 300 ribu kepada pemilik baru tanpa sepengatehuan Lurah atau kepala lingkungan, setelah menjual rumah tersebut nelayan-nelayan itu malah menyewa rumah, diperkirakan nelayan yang tinggal hanya 30% saja.
Selain ojek, ada satu angkutan umum yang setiap hari melintas menuju perumaha mulai pukul 05.00 sampai pukul 20.00.
Sementara fasilitas tempat pelelangan ikan (TPI) dan pengeringan ikan yang berada di tepi laut berada diujung perumahan, tak berfungsi lagi sejak dua tahun belakangan ini. Disebutkan tidak banyak ikan yang diperoleh oleh nelayan dibanding dengan kapal-kapal ikan di gabion yang dikelola pengusaha besar yang dapat lngsung menjual hasilnya ke TPI, sedang nelayan ikan disini biasanya menjual ikan hasil tangkapan kepada masyarakat pengguna langsung. Karena TPI diperumahan Nelayan tak berfungsi. Lahan seluas sekitar setengah hektar tersebut, drencanakan diubah fungsi menjadi taman wisata bahari. Pihak kelurahan bersama masyarakat dan pemerintah kota medan pernah membicarakan hal itu. Diharapkan, dengan adanya wisata bahari, akan lebih meningkatkan kehidupan masyarakat Perumahan nelayan termasuk masyarakat yang tinggal di kelurahan Nelayan Indah. Diperkirakan ada 30 Keluarga lagi yang belum memperoleh rumah setelah membayar uang muka sementara dipekirakan masih ada 50-60 kopel (unit) yang belum diselesaikan oleh masyarakat uang mukanya[41].



Gambar 4.35: Perubahan Perumahan Nelayan di daerah Belawan sesudah Resettlement


Gambar 4.36:Unit hunian yang masih asli Perumahan Nelayan di daerah
Belawan sesudah Resettlement dan terawat baik

Gambar 4.37:Unit hunian yang masih asli Perumahan Nelayan di daerah
Belawan sesudah Resettlement yang tidak terawat baik

Gambar 4.38:Unit hunian yang masih asli Perumahan Nelayan di daerah
Belawan sesudah Resettlement dengan penambahan


Gambar 4.39: Unit hunian yang masih asli Perumahan Nelayan di daerah
Belawan sesudah Resettlement, kanal yang direncanakan sebagai akses
perahu berubah menjadi pembuangan sampah.
Gambar 4.40: Unit hunian yang masih asli Perumahan Nelayan di daerah
Belawan Resettlement yang telah dijual kepada Non-Nelayan dan
telah diubah total menjadi rumah mewah

Gambar 4.41: Sungai Utama yang menghubungkan Pemukiman
dikawasan Resettlement dengan Laut Lepas di selat Melaka

Gambar 4.42: Fasilitas Pendidikan di Perumahan Nelayan di daerah
Belawan sesudah Resettlement


4.5.6 Pemukiman Spontan (Spontaneous settlement)
4.5.6.1.Penyebaran Pemukiman Spontan
Pada umumnya pemukiman spontan telah tumbuh di pinggiran kota, sehingga pinggiran ini tumbuh terus menerus diselang-seli oleh beberapa projek perumahan secara kecil-kecilan, bergerak ke arah luar menyebabkan batas fizik pembangunan kota ini bertambah lebar, sehingga harus diiringi dengan perluasan batas formal. Akibatnya, jumlah perumahan ini sudah melewati kemampuan daya dukung lahan (Land Capacity, atau Caring Capacity) sehingga menghasilkan daerah kumuh.
Ada yang berpendapat bahawa pertumbuhan yang cepat ini disebabkan oleh pemerintahan otoriter yang didukung militer yang membuat pemerintahan berpusat. Akhirnya, mengakibatkan kepincangan kekuasaan politik yang diakhiri dengan tidak adanya pemerataan keewangan antara pusat dan daerah. Seterusnya akan merangsang urbanisasi yang secara logik mengikuti konsentrasi wang tersebut. Konsentrasi penduduk ini menyebabkan pembentukan perumahan spontan yang sangat cepat dan akhirnya menjelma menjadi perumahan kumuh. Pada tiga puluh tahun kebelakangan ini seperti dapat dilihat pada beberapa daerah seperti Kota Maksum, Kota, dan daerah Area. Sekarang ini kawasan perumahan kumuh telah tersebar di setiap tempat, bercampur dan berintegrasi secara fungsional dengan perumahan yang standard dalam bentuk simbiosis mutualistis sehingga batas di antara keduanya seringkali kurang jelas.
Bentuk simbiosis ini dapat berupa penyediaan upah oleh penduduk yang berpendapatan tinggi dan menawarkan tenaga dari pihak golongan berpendapatan rendah sehingga terjadilah kontak di antara keduanya dalam pekerjaan berikut: pemandu, pembantu, tukang angkat, tukang kebun dan pengawal keselamatan (penjaga malam).
Terdapat dua sungai besar di kota Medan iaiatu sungai Babura ke arah timur dan sungai Deli ke arah barat. Keduanya bertemu di tengah-tengah kota Medan dan bersatu menjadi sungai Belawan lalu mengalir ke utara menuju pelabuhan Belawan. Pada masa dahulu, perumahan dibuat menghadap sungai-sungai ini kerana sungai merupakan pengangkutan utama, tetapi dengan dibangunnya jalan raya maka perumahan kumuh di sepanjang alirannya mulai berkembang.
Sebahagian dari perumahan ini telah dibersihkan kerana projek normalisasi sungai Belawan pada tahun 1991. Sebahagian ditempatkan kembali di projek perumahan nelayan di daerah Labuhan.

4.5.6.2.Pemukiman Spontaneous Sebagai Manifestasi Budaya
Pembentukan, ketahanan dan berlanjutnya eksistensi perumahan kumuh didukung oleh banyak faktor. Pertama, menyediakan akomodasi yang paling murah di pusat perkotaan yang diperuntukkan bagi penduduk miskin dengan sambungan air, elektrik dan pembuangan sampah yang dilakukan di sungai ataupun di setiap tanah kosongdan kaki lima Pemanfaatan trotoar dan lampu jalan untuk jualan pada malam hari serta perbelanjaan pengangkutan yang murah ke tempat kerja yang kesemuanya tidak dikenakan retribusi atau cukai yang wajar. Kedua; perumahan kumuh merupakan sumber tenaga kerja murah, terutama yang tidak memiliki kemahiran dan separuh mahir yang telah menopang berfungsinya mekanisme perkotaan dan tanpa mereka kota-kota tidak dapat berfungsi dengan sempurna. Ketiga; perbelanjaan perumahan yang murah, sumber daya manusia yang murah dan mudah akan membantu mengurangi perbelanjaan hidup di bandar secara keseluruhan yang dinikmati oleh seluruh lapisan penduduk baik yang kaya atau yang miskin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahawa petempatan kumuh dan kehidupan perkotaan hidup secara symbiotik dalam kedamaian dan saling menunjang. Walaupun, pada dasarnya kemudahan yang diperolehi oleh penduduk golongan miskin tersebut tanpa disadarinya pada akhirnya telah mensubsidi penduduk yang lebih kaya.
Sebaliknya, kemudahan yang dinikmati orang miskin tersebut di atas seperti kebocoran air bersih, sambungan elektrik tanpa kebenaran pihak yang bertanggung jawab dan pembuangan sampah yang tidak diuruskan dengan sempurna akhirnya akan menambah perbelanjaan (unit cost) yang harus dibayar oleh penduduk yang lebih mampu. Pada kenyataannya, perusahaan air minum, Perusahaan elektrik dan perusahaan daerah sampah yang seluruhnya berstatus perusahaan tersebut tidak mahu rugi begitu saja dan kemudiannya di tutup. Walaupun dalam keadaan yang paling buruk mereka harus disubsidi oleh pemerintah yang sumber subsidinya adalah dari pembayaran cukai atau sumber daya alam yang merupakan milik semua orang.
Kesannya, peduduk berpendapatan tinggi inipun seringkali berhasil menghindarkan dari pembayaran seperti itu yang telah berkolaborasi dengan para petugas dan para pegawai negeri berupa penyelewengan cukai, mengubah meter bacaan elektrik dan air yang akhirnya menciptakan mekanisme korupsi. Akhirnya, harus dibayar oleh seluruh lapisan masyarakat yang pada gilirannya menggerogoti kemampuan institusi awam tetapi harus dibezakan dengan semakin kayanya orang yang menjalankan institusi tersebut. Sehingga anggaran pemerintah akan berkurang untuk pembangunan, perawatan dan membaik pulih kemudahan awam
Lebih jauh lagi, keadaan perumahan kumuh yang tidak sehat tersebut juga telah mempengaruhi kota secara keseluruhan terutama jika berhubungan dengan penyakit epidemik. Barangkali masih segar dalam ingatan kita semua bahawa perbaikan kampung yang dilakukan oleh pemerintah Belanda bukanlah semata-mata kerana perhatian mereka terhadap peribumi tetapi untuk menghindari berjangkitnya penyakit kolera yang tidak dapat ditahan merebaknya dengan hanya memisahkan pemukiman orang Eropah, Cina dan Peribumi secara fizik seperti yang mereka fikirkan sebelumnya dan sudah mereka lakukan. Pengalaman ini juga harusnya diingat oleh penduduk yang tinggal di kompleks-kompleks petempatan yang mewah dan eksklusif kerana pemisahan seperti itu tidak dapat menghindarkan mereka menjadi penyakit sosial dan jenayah yang berlangsung di luar lingkungan fizik mereka karena meskipun mereka dilindungi oleh tembok-tembok dan petugas keamanan di dalam kompleks tetapi mereka dapat saja menjadi korban pembunuhan dan perompakan di luar pembatasan fizikal tersebut, Disamping itu mereka juga tidak dapat mengelakkan untuk membeli sayur, tempe, makan di warung, makan jajanan yang dijajakan oleh pedagang keliling atau menggantikan pemandu, pembantu, tukang kebun yang seluruhnya terdiri dari peduduk ekonomi lemah yang tinggal di kampung yang tidak sehat, banjir dan tidak bersih. Disamping peranan positif yang dimiliki oleh perumahan kumuh tersebut di atas, sebagai konsekuensi dari kejadian tersebut di atas Perumahan di atas juga menjadi sumber kawasan pengangguran, jenayah dan sumber penyakit sosial. Terakhir, perumahan kumuh bukan saja berfungsi sebagai mekanisme mengurangi ketegangan ekonomi terutama bagi penduduk miskin tetapi, juga berfungsi sebagai mekanisme untuk mengekspresikan kebudayaan mereka. Lokasi perumahan kumuh yang tersebar lokasinya meliputi seluruh kawasan kota dan bermacam-macam anatominya baik secara sosial, ekonomi mahupun budaya seperti pengelompokan etnik, meskipun secara fizikal kelihatan sama Hal ini telah memberikan kemungkinan bagi penduduk miskin tersebut untuk memilih lokasi yang sesuai dengan budaya yang dimilikinya serta preferensi ekonomi yang diinginkannya.
Penduduk kota terkadang lebih bersedia membayar lebih untuk perbelanjaan pengangkutan demi untuk tinggal di tempat yang dihuni oleh penduduk yang beretnik sama atau agama yang sama. Preferensi seperti ini telah mendukung jurang penduduk perkotaan yang jelas sudah ada sejak zaman penjajahan yang telah salah diperkirakan sebagai semata-mata alat kolonial pada masa lalu untuk mengadu domba dan kemudian menguasai (Divide et impera). Walaupun demikian, ternyata sampai sekarangpun sebahagian penduduk Indonesia masih terdiri dari domba-domba yang berkelahi sendiri, tanpa sebab yang dapat dipertanggung jawabkan.
Perlu juga ditambahkan bahawa kondisi perumahan kumuh ini juga memiliki tingkat penyesuaian terhadap perkotaan yang cukup bervariasi mulai dari yang mirip lingkungan di pedesaan (Rural) sampai yang keadaannya sudah sangat kota (Urnaized). Keadaan ini sangat sesuai bagi pendatang yang baru mengadakan urbanisasi yang kemudiannya mengadakan mobilisasi fizik secara perlahan-lahan iaitu berpindah dari satu tempat kumuh ke tempat kumuh lain sesuai dengan tingkat penyesuaian yang berhasil dilakukannya terhadap kehidupan perkotaan.
Pemukiman spontan secara umum dan pemukiman kumuh secara khusus merupakan mekanisme multi tujuan dan multi fungsi yang salah satunya merupakan alat untuk mengekspresikan kebudayaan orang miskin sebagai salah satu keperluan hidup, namun selalu diinterpretasikan secara salah oleh pemerintah yang tidak mahu bertanggung jawab.

4.6 Perubahan Fizikal Perumahan

Perubahan rumah dalam uraian diatas telah disimpulkan sebagai metode adaptasi penghuni untuk memperoleh kepuasan terhadap lingkungan dan unit hunian yang ditempatinya. Secara skematis proses yang terdapat pada uraian pada bab ini digambarkan dalam skema berikut:
Masalah Perumahan (Housing Issue)
Perubahan Rumah (Change/Adaptatio)
Rumah dalam arti sebenarnya
(Residential satisfaction,
Territorial Functioning,
Sense of Belonging,
Place making)



4.6.1 Perubahan Fisikal Perumahan Perumnas
Pertumbuhan ekonomi dan penumpukan populasi yang begitu banyak jumlahnya telah menyebabkan tingginya keperluan terhadap rumah petempatanl. Pemerintah telah memberikan tindak balas kekurangan tersebut dengan berbagai macam cara seperti penyediaan rumah murah, perbaikan kampung, perbaikan daerah kumuh, perbaikan kawasan perkampungan yang dianggap tidak efisyen sehingga seringkali mengorbankan daerah bersejarah dan rumah penduduk tanpa penggantian kerugian yang sepadan.
Salah satu sistem penggantian kerugian yang tidak sepadan ini muncul pada kes pembebasan jalan lingkar peggal selatan yang berlokasi menghubungkan daerah asrama haji dengan kampung baru. Rakyat telah menuntut ganti rugi sebesar nilai yang telah diberlakukan oleh dinas pajak pada saat penentuan sepihak besarnya pajak tanah yang harus dibayar penduduk. Nyatanya, nilai tersebut dianggap terlalu besar sehingga pemerintah tidak bersedia membayar sesuai dengan nilai tersebut.
Rasionalisasi ekonomi yang telah digunakan dalam prinsip pembangunan perumahan yang disponsori pemerintah telah menghapuskan kaedah estetika dan budaya dan bahkan fungsional yang dikehendaki oleh penghuni. Sebagai akibatnya, Perumnas telah memperkenalkan rumah inti yang terlalu kecil dan dengan atap yang terlalu rendah, yang disusun berjejer dalam bentuk grid yang kaku, yang dihubungkan oleh jalan-jalan kecil yang tidak dapat dilalui oleh mobil.
Ketinggian bangunan yang terlalu rendah dibuat untuk menghemat bahan bangunan dan selanjutnya harga bangunan. Bahan bangunan termurah dan tidak memenuhi standard yang diproduksi masal oleh kilang tempatan merupakan ciri bangunan rumah murah ini, terutama sasbes gelombang, zeng untuk atap dan lembaran papan lapis (asbestos) yang rata untuk dinding. Bangunan dibuat kopel, hanya dipisahkan oleh lapisan asbestos nipis sampai ketinggian langit-langit, sehingga akan roboh jika kena benturan yang agak keras dan tembus suara terutama lewat atas langit-langit yang tidak memiliki pembatas. Luas lantai berkisar antara 35.00-70.00 M2, jika dibandingkan dengan standard luas yang dimiliki rumah spontan sangat kecil. Meskipun dinamakan rumah murah dan diperuntukkan kelompok miskin, tetapi mereka tidak mampu membayarnya sehingga jatuh ke tangan kelompok yang ekonominya lebih baik.
Disebabkan tidak dapat memenuhi keperluan penghuni, maka penghuni yang secara umum memiliki kemampuan kemudiannya megubah rumahnya masing-masing, sehingga hampir seluruhnya mengubah rumahnya. Namun, kerana sulitnya membuat renovasi kerana reka bentuknya yang begitu formal akibatnya hampir sepertiga merubuhkan rumahnya secara keseluruhan dan membangun yang baru.
Kesudahannya, sesudah sepuluh tahun petempatan ini telah berubah dan bentuk awal unit rumah tersebut tidak dapat ditemukan kembali dan tidak dibayangkan bahawa ratusan rumah tersebut tadinya adalah rumah yang sama dan diproduksi secara massal. Efisiensi ekonomi yang tadinya menjadi pertimbangan utama telah menjadi pemborosan besar-besaran yang harus dibayar oleh orang ramai baik yang miskin mahupun yang kaya baik sama ada secara langsung ataupun tidak langsung.Beberapa ahli berpendapat bahawa memenuhi tuntutan keperluan penghuni rumah tidak akan tercapai jika mereka tidak diikut sertakan dalam proses penyediaan perumahan. Dalam hal ini, mereka tidak dilibatkan dalam proses penyediaan perumahan yang disponsori pemerintah mahupun yang disediakan oleh swasta yang juga dibantu oleh pemerintah melalui pemberian pinjaman perumahan. Menurut asumsi ini, itulah penyebab banyak sekali penduduk yang mengubah rumah yang diperolehinya melalui skim di atas. seperti sudah disebutkan pada bagian terdahulu, keadaan serupa dapat dilihat pada beberepa perumahan yang disponsori oleh pemerintah. Dari 84 % responden yang mengadakan perubahan rumah, seluruhnya menambah luas lantai kearah horizontal dengan penjelasan pada tabel berikut: Penduduk yang beringinan untuk pindah dari PERUMNAS Simalingkar hanya 15 % dari responden sedang sisanya sebesar 85 % tidak berkeinginan untuk pindah[42]. Hanya tidak diteliti apakah yang berkeinginan pindah tersebut pemilik atau penyewa. Karena pemilik penghuni hanya meliputi 75 % dari responden. Kemungkinan besar tingkat resident satisfaction penghuni meningkat karena 84 % rumah sudah diubah.
4.6.2. Perubahan Fisikal Perumahan Yang Dibangun Pemaju Swasta

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, permintaan terhadap perumahan untuk golongan berpendapatan menengah ke atas umumya disediakan oleh pengusaha perumahan swasta. Walaupun, program ini tidak terlepas dari bantuan pemerintah berupa pemberian kemudahan pinjaman dengan kadar bunga yang rendah. Namun berbeza, dengan pendekatan yang dibuat Perumnas untuk perumahan rumah murah. Para pengusaha swasta ini relatif menyisakan sedikit kesempatan buat para calon penghuni untuk berpartisipasi memberikan cadangan terhadap reka bentuk dengan pembiayaan sendiri. Sehingga, perubahan yang terjadipun tidak selancar yang terdapat pada rumah murah yang dibangun oleh Perumnas. namun begitupun dalam tempo yang relatip tidak lama hampir seluruhnya telah diubahsuai.

4.6.3. Perubahan Fisikal Pemukiman Setinggan
Anggapan yang salah tentang petempatan kumuh sebagai masalah kota yang paling genting telah sekian lama menghantui para ahli, pemerhati kota dan pemerintah, sehingga usaha- usaha perbaikan selalu diakhiri dengan perbaikan pemukiman kumuh. Seterusnya, membangun perumahan standard yang terdiri dari rumah horizontal mahupun rumah susun yang akhirnya menjadi kumuh kembali.
Sedangkan, pada kenyataannya perumahan kumuh menyimpan segudang penyelesaian atas masalah perkotaan yang sedang dihadapi terutama penduduk miskin. Meskipun, mungkin masih merupakan penyelesaian sementara dalam suasana transisi yang memiliki kemungkinan dipertahankan/ dipermanenkan.
Sebagaimana yang disebutkan di atas, perumahan kumuh telah digunakan sebagai mekanisme yang sangat efektif sebagai untuk mendistribusikan kekayaan secara informal, melawan ketidak adilan yang diciptakan oleh mekanisme yang diciptakan negara. Dengan kata lain perumahan kumuh adalah alat perjuangan dan lambang perlawanan orang miskin yang tidak seyogianya diperlakukan sebagai musuh oleh pembuat kebijakan.
Perumahan kumuh juga merupakan alat pertahanan kaum miskin di perkotaan untuk melindungi diri mereka dari akibat perbuatan konglomerat dan pencuri-pencuri kaya, pembobol bank pada masa lalu mahupun saat ini yang masih terus berkeliaran dan makin menjadi-jadi. Ia juga sebagai alat mempertahankan diri dari hukum serta peraturan yang nyata-nyata tidak adil dan tidak pernah berpihak kepada mereka. Mekanisme ini terbukti sangat efektif, dimana polisi perancangan, peraturan bangunan yang memang tidak dimiliki oleh pemerintah daerah dan kalaupun ada lebih sering digunakan sebagai alat untuk korupsi telah diganti dengan norma-norma, kesepakatan antara jiran di kawasan perumahan kumuh.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan yang penting tentang kes kota Medan. Yang pertama, perumahan yang disediakan oleh pemerintah melalui PERUMNAS sesungguhnya bukan untuk penduduk miskin yang paling memerlukan rumah tetapi untuk penduduk berpenghasilan rendah yang memiliki affordabilty yang cukup sehingga masih dapat memasuki pasar perumahan dan memberikan keuntungan kepada PERUMNAS secara signifikan serta tidak merugikan Bank pemberi kredit. kedua, seluruh kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah, baik yang dianjurkan oleh institusi seperti bank dunia atau kesepakatan pemerintah yang menyerahkan pengadaan perumahan kepada pasar telah gagal memberikan perumahan bagi kaum miskin. Ketiga, sebagian besar penduduk tidak memiliki kepuasan (resident satisfaction) atas unit rumah yang tersedia penduduk secara umum memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah rumahnya. Sebahagian besar ingin membangun rumah sendiri jika mereka kelak memiliki kewangan yang stabil dan hanya sebagian kecil yang bersedia menerima rumah siap dan sebagian kecil yang lain akan terus menyewa. Mungkin dengan alasan tidak melihat potensi/kemampuan yang memungkinkan mereka memiliki rumah sendiri.
Selanjutnya, hanya sebahagian kecil keluarga dari jumlah pemilik yang menempati rumah sendiri yang cukup berpuas hati dengan rumah dan lingkungan yang ditempati sekarang sedangkan bahagian terbesar ingin berpindah ke rumah lain dan lingkungan lain. Ertinya mereka tidak berpuas hati dengan lingkungan dan rumah yang mereka miliki sekarang.
Majoriti penduduk yang disurvei, tidak berpuas hati dengan luas lantai rumah yang ditempati sekarang dan dengan kemampuan serta kemungkinan akan memperluas rumahnya sesuai dengan keperluan mereka baik secara fizikal, sosial maupun psikologis.
Petunjuk di atas jelas menunjukkan ketidak puasan stakeholder dan adanya keinginan yang kuat untuk mengubah rumah yang ada. Seyogianya diperhitungkan oleh pembuat dasar perumahan dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang perumahan.

[1] Biro Pusat Statistik Medan tanun 2000
[2] Golland, A. & Gillen, M. (2004). Housing need, housing demand and housing supply. In : Golland, A and Blake, R,
eds. Housing development : Theory, process and practice. London : Routledge. 45 – 70. Yusoff, N., (1993). A Culturally Appropriate And Economiccally Sustainable Housing Delivery System For Malay Urban Low-Income Households In Malaysia. Texas A&M University : Ph.D. Thesis.
[3] Golland, A. & Gillen, M. (2004). Housing need, housing demand and housing supply. In : Golland, A and Blake, R,
eds. Housing development : Theory, process and practice. London : Routledge.
[4] Yusoff, N., (1993). A Culturally Appropriate And Economiccally Sustainable Housing Delivery System For Malay Urban Low-Income Households In Malaysia. Texas A&M University : Ph.D. Thesis.
[5] Golland, A. & Gillen, M. (2004). Housing need, housing demand and housing supply. In : Golland, A and Blake, R,
eds. Housing development : Theory, process and practice. London : Routledge.
[6] Golland, A. & Gillen, M. (2004). Housing need, housing demand and housing supply. In : Golland, A and Blake, R, eds. Housing development : Theory, process and practice. London : Routledge.
[7] Sani, N. M.,(2006).’ Home Ownership Affordability of Low Cost Housing in Kuala Lumpur’. International Conference on Sustainability Housing. Penang
[8] Hancock, K. E. (1993). Can pay? won’t pay?’ or economic principles of ‘affordability. Urban Studies. 30(1): 127– 145. in Sani, N. M.,(2006).’ Home Ownership Affordability of Low Cost Housing in Kuala Lumpur’. International Conference on Sustainability Housing. Penang.
[9] Maclennan, D. & Williams, R. (eds). (1990). Affordable Housing in Britain and United States. York : Joseph Rowntree Foundation. in Sani, N. M.,(2006).’ Home Ownership Affordability of Low Cost Housing in Kuala Lumpur’. International Conference on Sustainability Housing. Penang.
[10] Bramley, G.(1990). Access, affordability and housing need. Paper presented at ESRC Housing Studies Conference, University of Surrey. SAUS, University of Bristol. in Sani, N. M.,(2006).’ Home Ownership Affordability of Low Cost Housing in Kuala Lumpur’. International Conference on Sustainability Housing. Penang.
[11] Whitehead C.M.E. (1991). From need to affordability: an analysis of United Kingdom housing objective. Urban Studies. 28(6): 871–887. in Sani, N. M.,(2006).’ Home Ownership Affordability of Low Cost Housing in Kuala Lumpur’. International Conference on Sustainability Housing. Penang.
[12] Nelson, A. C., Rolf, P, Casey J. D., and Gerrit J. K., (2002) “The link between growth management and housing affordability: The academic evidence.” A discussion Paper Prepared for the Brookings Institution Center on Urban and Metropolitan Policy, pp. 1-56.
[13] Hui. E. C.M. (2001) Measuring Affordability in Public Housing from Economic Principles: Case Study of Hong
Kong, Journal of Urban Planning and Development, Vol. 127, No. 1, pp. 34-49.
[14] World Bank/UNCHS (1992) The Housing Indicators Program, Extensive Survey, Part II: Indicator Modules and Worksheets, Update and Revisions, United Nations Center for Human Settlements/The World Bank, March 1992, 108pp. Washington D.C.
[15] The Canada Mortgage and Housing Corporation (CMHC, 1993) Developing Quality of Life indicators for Canadian
Municipalities, Research and Development Highlights, April 1993, pp. 1-4. Zebardast, E.,(2006)., Housing Affordability Analysis for Different Zones of Tehran City Using Factor and Cluster Analysis’.International Conference on Sustainability Housing. Penang.
[16] Peattie L. R.. (1987). Affordability. Habitat International. 11(4): 69–76. Linneman, P. D. & Megbolugbe, I. F. (1992). Housing affordability: myth or reality? Urban Studies. 29(3/4): 369– 392. Hancock, K. E. (1993). Can pay? won’t pay?’ or economic principles of ‘affordability. Urban Studies. 30(1): 127– 145. Lau, K. M. & Li, S. M. (2006). Commercial housing affordability in Beijing, 1992-2002. Habitat International Vol. 30(3): 614–627.in Sani, N. M.,(2006).’ Home Ownership Affordability of Low Cost Housing in Kuala Lumpur’. International Conference on Sustainability Housing. Penang Lau, K. M. & Li, S. M. (2006). Commercial housing affordability in Beijing, 1992-2002. Habitat International Vol. 30(3): 614–627.
[17] Sani, N. M.,(2006).’ Home Ownership Affordability of Low Cost Housing in Kuala Lumpur’. International Conference on Sustainability Housing. Penang
[18] Grigsby, W.G., Rosenburg, L. (1975). Urban Housing Policy. NewYork. APS Publications.
[19] Thalmann, P. (2003). House poor or simply poor? Journal of Housing Economics. 12 (4):291-317.
[20] Kutty, N.K. (2002). The house poor — are high housing costs keeping non-poor Americans at poverty standards of living? ENHR 2002 conference, Vienna, Austria.
[21] Thalmann, P. (2003). House poor or simply poor? Journal of Housing Economics. 12 (4):291-317. in Mostafa, A., Wong, F. K. W., and Hui, E.C.M.,(2006).’Factors Affecting the Housing Affordability of the Public Housing Tenants in Hongkong. International Conference on Sustainability Housing. Penang.
[22] Hancock, K.E. (1993). Can pay? Won’t pay? or Economic principle of affordability. Urban Studies. 30(1): 127-145.
[23] Hui, C.M (1999). Public housing rents in Hong Kong: policy and structure, Journal of Urban Planning and Development. 125(1): 36-53.
[24] in Mostafa, A., Wong, F. K. W., and Hui, E.C.M.,(2006).’Factors Affecting the Housing Affordability of the Public Housing Tenants in Hongkong. International Conference on Sustainability Housing. Penang.
[25] Carter and Arnold:Urban Studies 1981
[26] Gradman, 1916
[27] Harahap, E.A., (2003). ’Penentuan Model Bangkitan Pergerakan pada kawasan Perumahan Pinggiran Kota Medan. Studi Kasus: Kawasan Sunggal Medan.Tesis Master. Program Paska Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan

[28] Paper Walikota pada Seminar Transportasi Kota Medan di Medan Tahun 2003
[29] Anonym. Majalah Prospek No. 7 tahun II, 16 Nopember 1991.
[30] Zulkarnain, W.,(2006)., Pemukiman Kumuh di Perkotaan: ‘Studi Kasus Kampung Baru Kecamatan Maimun Kota Medan’.USU Press. Medan.


[31] Panjaitan, A.R., (2006). ‘Faktor yang Mempengaruhi Keterjangkauan Penghuni (Pemilik) Dalam Membeli Rumah Sederhana Sehat.Studi Kasus: Perumnas Martubung Medan’.Master Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. (Unpublished)
[32] Syarif, Z., (2006),’Peran Pemerintah Daerah dalam mendukung Program Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RsH. dalam seminar Peran Pemerintah Daerah dalam Pengadaan Rumah Sederhana Sehat. diselenggerakan oleh APERSI. Medan
[33] Surbakti, Sensus Nasional Perumahan Tahun 1997
[34] Panjaitan, A.R., (2006). ‘Faktor yang Mempengaruhi Keterjangkauan Penghuni (Pemilik) Dalam Membeli Rumah Sederhana Sehat.Studi Kasus: Perumnas Martubung Medan’.Master Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. (Unpublished)
[35] Panjaitan, A.R., (2006). ‘Faktor yang Mempengaruhi Keterjangkauan Penghuni (Pemilik) Dalam Membeli Rumah Sederhana Sehat.Studi Kasus: Perumnas Martubung Medan’.Master Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. (Unpublished)
[36] Panjaitan, A.R., (2006). ‘Faktor yang Mempengaruhi Keterjangkauan Penghuni (Pemilik) Dalam Membeli Rumah Sederhana Sehat.Studi Kasus: Perumnas Martubung Medan’.Master Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. (Unpublished)
[37] Panjaitan, A.R., (2006). ‘Faktor yang Mempengaruhi Keterjangkauan Penghuni (Pemilik) Dalam Membeli Rumah Sederhana Sehat.Studi Kasus: Perumnas Martubung Medan’.Master Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. (Unpublished)

[38] Loebis, M.N (1991)., Penelitian Pemecahan Masalah Pemukiman Kumuh di Kotamadya Medan
[39] Sensus Biaya Hidup 1998
[40] Potret Desa Nelayan (1995) Perumahan Kampung Nelayan Indah suatu alternatif Penanggulangan Pemukiman Kumuh Publikasi oleh: Pemerintah kotamadya Medan Januari 1995.

[41] Harian Analisa, Menengok Perumahan Nelayan Sabtu (9/2) 2001. Medan

[42] Suhadianto.,(2005).’Evaluasi Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah: Studi Kasus Simalingkar. Tesis Master. Paska Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. (Unpublished